Opini

Gus Dur: Antara Guru Bangsa, Presiden, dan Pelengseran Politis

Rab, 22 Juli 2020 | 14:35 WIB

Gus Dur: Antara Guru Bangsa, Presiden, dan Pelengseran Politis

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa Presiden merupakan jabatan prestisius, apalagi untuk bangsa dan negara sebesar Republik Indonesia. Namun, tidak demikian dengan sahabat-sahabat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

 

Peran multidimensi seorang Gus Dur membuat teman-temannya agak menyesali, mengapa Gus Dur tidak tetap menjadi guru saja bagi bangsa ini, bahkan bangsa-bangsa di dunia? Karena mereka menilai bahwa peran guru bangsa jauh di atas Presiden.


Beberapa peristiwa politik yang menimpa Gus Dur, terpaksa harus membuatnya terjibaku bahkan terkesan terjebak di dalam pusaran politik praktis. Meskipun Gus Dur sendiri telah melakukan banyak kebijakan yang menjadikan keran demokrasi lebih terbuka, mampu mencegah disintegrasi bangsa, pemberantasan korupsi, menelurkan kebijakan negara yang lebih humanis, merestrukturisasi ABRI, dan lain sebagainya.


Namun, tetap saja para sahabatnya menyesalkan karena Gus Dur ‘didzalimi’ lawan-lawan politiknya. Bahkan sampai dilengserkan dari kursi Presiden secara politis pada 23 Juli 2001, tepat 20 bulan Gus Dur melaksanakan roda pemerintahan bersama para kabinet Persatuan Nasional sejak 20 Oktober 1999.


Sahabat-sahabatnya tidak sama sekali menyesali Gus Dur lengser secara politis itu, namun mereka menyesali kenapa Gus Dur tidak tetap menjadi seorang guru bangsa saja. Meskipun dalam hal ini, Gus Dur sendiri punya jawaban.


“Saya ini santri disuruh nurut sama orang tua. Kalau kata lima kiai ini, saya tidak sebut namanya, saya disuruh terjun ke jurang, saya terjun,” kata Gus Dur dalam Talkshow Kick Andy, 15 November 2007 silam saat mengungkapkan lima orang kiai sepuh yang mendorong dirinya untuk menjadi Presiden RI.


Salah seorang sahabat Gus Dur, Ahmad Tohari dalam buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017) menceritakan bahwa dirinya pada Mei 1999 bersambang ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).


Ratih Hardjono yang saat itu menjadi relawan untuk membantu Gus Dur menyuruh Ahmad Tohari masuk ke ruang kerja Gus Dur di PBNU. Sastrawan dan Budayawan asal Banyumas, Jawa Tengah itu hanya menurut. Tetapi kemudian ia tertegun di pintu.


Saat Gus Dur berdiri berhadapan cukup rapat dengan seorang kiai (Ahmad Tohari tidak menyebut nama kiai tersebut) sambil menangis. Ahmad Tohari menjelaskan bahwa di tengah isak tangisnya, Gus Dur berkata, “Kiai, apa saya kuat jadi Presiden?” Lalu pertanyaan Gus Dur itu dijawab oleh kiai, “Tapi memang sampean yang bakal menjadi Presiden.”


Terlihat di sini Gus Dur tidak menanyakan kemampuan dirinya, tetapi kekuatannya jika terpilih menjadi Presiden. Empat bulan kemudian dari Ahmad Tohari sowan ke Gus Dur tersebut, pemilihan Presiden dilakukan. Seluruh anggota MPR RI memilih calon presidennya.


Ketika pemilihan dan sampai pada penghitungan suara, susul-menyusul jumlah suara terjadi antara Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Hingga waktu penghitungan akan berakhir, Megawati masih unggul suara dari Gus Dur.


Namun, pada detik-detik terakhir penghitungan, suara Gus Dur mengungguli Megawati sehingga Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI pada 1999. Melihat kemenangan Gus Dur tersebut, Ahmad Tohari berkata, “Saya merenung, mengusap air mata karena sedih. Seorang guru bangsa--meskipun suka bergurau—harus mau menerima status yang lebih rendah: Presiden!”


Sahabat lainnya, Ben Subrata (2017) mengungkapkan bahwa dirinya tidak cukup memahami ketika Gus Dur mau menerima untuk dicalonkan sebagai Presiden. Karena bagi Subrata, Gus Dur sudah di atas semua itu. Namun, mungkin saja Gus Dur berpikir bahwa ketika masuk dalam pemerintahan banyak hal yang bisa dilakukan untuk rakyat banyak.


Sayangnya, menurut Subrata, karena Gus Dur terlalu baik atau naif barangkali, ia sering dimanfaatkan orang. Saat ia menjadi Presiden, Subrata melihat bahwa wibawanya sebagai tokoh bangsa sedikit tergerus. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang tampak konfrontatif di mata lawan-lawan politiknya menyulut aksi balasan dengan cara menggoyangnya.


“Dalam soal pertempuran itu, saya sering melihat Gus Dur tak peduli untuk melihat arena pertempuran, semua arena pertempuran dimasukinya. Seperti kita tahu, Gus Dur akhirnya jatuh (dilengserkan secara politis),” ucap Ben Subrata dalam Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017).


Sahabat lainnya, Anis Hidayah (2017), seorang aktivis buruh migran mengatakan, pasca-menjadi Presiden, Gus Dur terlihat masih begitu bersemangat dalam hal kemaslahatan orang banyak melalui kebijakan negara. Di internal partai, Gus Dur mulai mendapatkan resistensi yang justru oleh kerabat dan generasi yang dididiknya. Hingga akhirnya, secara de jure, Gus Dur harus dengan terpaksa merelakan partai yang didirikannya kepada orang lain.


Anis Hidayah menyatakan, di sinilah Gus Dur sesungguhnya sedang mereduksi kapasitasnya yang sesungguhnya jauh lebih besar dari persoalan-persoalan politik pragmatis. “Hal ini yang sesungguhnya sangat saya sayangkan untuk tokoh sekaliber Gus Dur. Yaitu terlibat dalam wilayah yang sering menjadikan manusia tidak segan dan tidak malu menampakkan naluri kerakusannya,” kata Anis Hidayah.


Senada, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis (2017) menyampaikan harapannya agar Gus Dur lebih baik menjadi guru bangsa dan meninggalkan panggung politik yang bisa membuatnya kehilangan kharisma.


Setahun sebelum Gus Dur meninggal, Romo Magnis pernah bertanya mengapa Gus Dur tidak menjadi bapak bangsa saja dan menarik diri dari politik praktis? Namun, ia tidak mau. Dua minggu kemudian pada perayaan ulang tahunnya, Gus Dur mengatakan dalam sambutannya, “Ya, Romo Magnis meminta supaya berhenti dari politik, tapi sekarang belum. Yang lain tidak berani bilang ini,” kelakar Gus Dur membuat Romo Magnis ngakak. 

 

Gus Dur menerima amanah dari rakyat saat terpilih menjadi Presiden dengan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Karena selain harus menghadapi ancaman disintegrasi bangsa, Gus Dur juga menghadapi tugas untuk menjalankan tuntutan reformasi dan pembangunan demokratisasi bangsa Indonesia, terutama di mata dunia internasional.


Menurut catatan Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2019), tugas-tugas tersebut mengharuskan Gus Dur berhadapan dengan anasir-anasir ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar) yang masih kuat dan menjadi problem akut sebagai dampak dari 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa. Salah satu tugas penting Gus Dur ialah membersihkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah mengurat dan mengakar di era Soeharto.


Meskipun hanya memimpin Indonesia selama 20 bulan karena dilengserkan secara politis oleh lawan-lawan politiknya pada 23 Juli 2001, Gus Dur telah banyak meletakkan fondasi demokratisasi yang baik bagi masa depan kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk selain upaya keras memberantas praktik-praktik korupsi.

 


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online