Opini

Esensi Dakwah Islam Wasathiyah

Jum, 29 Juni 2018 | 02:00 WIB

Oleh Khairuddin Tahmid

Dewasa ini kita dihadapkan pada munculnya kelompok Islam yang intoleran, eksklusif, mudah mengkafirkan orang, kaku, dan kelompok lain yang gampang menyatakan permusuhan dan melakukan konflik, bahkan kalau perlu melakukan kekerasan terhadap sesama muslim yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Selain itu kita juga dihadapkan pada munculnya komunitas Islam yang cenderung liberal dan permisif .

Kedua kelompok tersebut tergolong kelompok ekstrem kanan (tatharruf  yamini) dan ekstrem kiri (yasari), yang bertentangan dengan wujud ideal dalam mengimplementasikan  ajaran Islam di Indonesia bahkan dunia.  Bagi kita bangsa Indonesia khususnya  menolak pemikiran atau paham keagamaan dan ideologi  serta gerakan kedua kelompok tersebut,  karena tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dan dibangun bangsa Indonesia.

Islam wasathiyah sejatinya merupakan ajaran ulama nusantara yang selama ini dianut dan diamalkan oleh umat Islam di nusantara. Namun setelah terjadinya revolusi teknologi informasi, di mana semua paham keagamaan bisa diakses dengan mudah dan bebas oleh masyarakat, maka mulailah ajaran keagamaan yang awalnya tidak dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai masuk dan diajarkan di Indonesia. Termasuk ajaran keagamaan yang radikal yang bisa membimbing pemeluknya melakukan tindakan teror. Karena itu merupakan hal yang sangat penting untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran ulama nusantara. Antara lain dengan mengembalikan pemahaman Islam wasathiyah.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 143 yang artinya : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.

Praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah meliputi: (1) Tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama), (2) Tawazun (berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan), (3) I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional, (4) Tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya, (5) Musawah (egaliter) yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan atau agama, tradisi dan asal usul seseorang, (6) Syura (musyawarah) yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya, (7) Ishlah (reformasi) yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (merawat tradisi merespon moderenisasi), (8) Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas) yaitu kemampuan mengidentifikasi hal-ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah, (9) Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia, (10) Tahadhdhur (berkeadaban) yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

Praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah ini perlu didakwahkan sebagai implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin. Dakwah adalah tugas kenabian dan kerasulan yang harus diteruskan oleh umat Islam sebagai bagian dari tanggung jawab teologis (mas’uliyah diniyah). Sebab dengan dakwah, Islam diharapkan akan dapat berkembang dengan pesat dan baik. Dengan dakwah pula, tatanan masyarakat muslim dapat tertata dengan baik. Dakwah harus memerankan fungsi tauhidul ummah (mempersatukan ummat), tansiqul ummah (mensinkronkan gerakan dakwah), taswiyatul manhaj (menyamakan persepsi pola keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah), dan himayatul ummah (melindungi ummat dari akidah dan pemikiran sesat, muamalat yang haram, dan konsumsi yang haram, termasuk membentengi ummat Islam menghadapi rongrongan dari luar seperti upaya pemurtadan, dan sebagainya).

Esensi dakwah adalah mengingatkan, membimbing dan mengajak manusia untuk: (1) berbuat baik dalam segala hal sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya; (2) meninggalkan segala hal yang dilarang dan bertentangan dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya; dan (3) mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai Allah SWT.

Memahami esensi dari dakwah sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik, sains, teknologi, dan sebagainya. Untuk itu dakwah haruslah dikemas dengan cara, metode dan konten yang tepat dan pas.

Dakwah harus tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti mampu memecahkan masalah kekinian dan hangat di tengah masyarakat. Faktual dalam arti kongkrit dan nyata, sedangkan kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut problema yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Agar tercapai sasarannya, dakwah harus dilaksanakan dengan memperhatikan da’i, maddah, wasilah dan manhaj.  Fenomena yang terjadi saat ini, kebanyakan dakwah dilaksanakan secara kurang terencana dan gencar dilaksanakan hanya berkaitan dengan perayaan hari-hari besar Islam atau bahkan di momen-momen politik. Hal ini pun masih menyisakan masalah seperti kompetensi da’i, kurangnya atensi (perhatian) mad’u  pada materi-materi dakwah yang membuka wawasan umat, materi yang tidak mendalam dan tidak komprehensif, bahkan tidak jarang menonjolkan pencitraan diri atau kelompoknya, pemahaman radikal dan menyerang kelompok lain yang berbeda pemahaman, atau sebaliknya dengan pemahaman liberal yang cenderung permisif serba membolehkan dan menggampangkan. 

Untuk itu diperlukan sekelompok orang yang secara terus menerus mengkaji, meneliti dan meningkatkan aktivitas dakwah secara profesional. Dengan menggunakan pemahaman dakwah secara luas ini, maka pengelolaan dakwah tidak lagi cukup dengan dakwah yang dilakukan oleh orang per-orang, tetapi juga dilakukan oleh institusi atau lembaga dakwah. Sekalipun demikian, tetap masih disadari bahwa aktivitas institusi atau lembaga dakwah tidak akan mampu menggarap semua bidang, saluran dan segi-segi dakwah itu keseluruhannya. Setiap institusi atau lembaga dakwah mesti memilih beberapa bidang dan saluran yang dijadikan sebagai program permanen dan garapan rutinnya.

Seorang da’i dalam melaksanakan dakwahnya harus senantiasa mengedepankan karakter lemah lembut (layyinan), sukarela tanpa paksaan (tathawwu’iyyan), toleran terhadap perbedaan (tasamuhiyyan) dan menyayangi objek dan sesama pelaku dakwah (tawaddudiyan wa tarahumiyan). 

Penulis adalah Wakil Rais Syuriyah PWNU Lampung dan Ketua Umum MUI Provinsi Lampung