Opini

Energi Terbarukan di Indonesia: Tantangan dan Asa Energi Surya

Rab, 15 Mei 2019 | 08:30 WIB

Energi Terbarukan di Indonesia: Tantangan dan Asa Energi Surya

Ilustrasi (infonawacita)

Oleh Ahmad Rahma Wardhana

Pengertian energi terbarukan sedikitnya dapat ditinjau dari dua perspektif, yakni sumber dan pemanfaatannya. Pertama, energi terbarukan berasal dari sumber yang terbarukan secara alami maupun budidaya, berkelanjutan, serta laju produksi yang lebih cepat dibandingkan laju konsumsinya. Contoh sumber yang dimaksud adalah sinar matahari, angin, hujan atau air, pasang-surut dan gelombang air laut, serta panas bumi (secara alami) dan biogas, biomassa, biosolar, bioavtur, serta bioetanol (lewat budidaya). Kedua, energi terbarukan mempunyai empat fungsi khas yaitu menghasilkan energi dalam bentuk listrik, sebagai pendingin atau pemanas air dan udara, sumber energi bagi sarana transportasi, dan memberikan jasa energi untuk wilayah terpencil. (IRENA 2009; REN21 2010; Ellabandkk 2014; dan iea.org 2016)

Salah satu perbedaan mendasar antara energi energi terbarukan dengan energi berbasis fosil (minyak, gas, dan batubara) adalah munculnya emisi gas rumah kaca berupa CO2, CH4, dan N2O, yang dihasilkan oleh energi fosil. Data International Energy Agency (IEA) tahun 2016 menunjukkan bahwa energi terbarukan –bersama beberapa sumber energi non-fosil lain– memasok sekitar 19% kebutuhan energi dunia, dengan kontribusi emisi karbon (CO2) global sebesar 1%. Bandingkan dengan batu bara, misalnya, dengan pasokan energiyang mencapai 27%, ia justru menyumbang hingga 44% emisi karbon. Sementara 32% pasokan minyak bumi menghasilkan 35% emisi karbon dan 22% pasokan gas alamemisinya mencapai 20% dari emisi karbon global. Padahal, emisi gas rumah kaca karena aktivitas manusia sangat dimungkinkan merupakan faktor dominan penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.

Apa dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim bagi Indonesia? United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim akan menimbulkan reaksi berantai yang mengancam manusia, lingkungan, dan kemakmuran (3P, yaitu people, planet, dan prosperity). Reaksi berantai tersebut adalah cuaca ekstrim, hilangnya keanekaragaman hayati, es global yang mencair, serta gelombang panas dan kekeringan ekstrim. Reaksi berantai ini akan sangat terasa bagi masyarakat, baik ketika terjadi langsung (misal: terhambatnya distribusi barang dan jasa atau kacaunya produksi pangan di darat dan laut karena cuaca ekstrim), maupun ketika berpadu dengan kerusakan lingkungan lain (misal: banjir dan tanah longsor karena cuaca ekstrim dan perusakan hutan atau alih fungsi lahan yang melebihi daya dukung lingkungan).

Sementara hilangnya biodiversitas akan semakin menggerus peringkat Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas terbesar ketiga di dunia, sekaligus kehilangan potensi pemanfaatan biodiversitas di bidang pangan (sumber keanekaragaman nutrisi), farmasi (termasuk kosmetik), budaya (termasuk pariwisata), dan energi berbasis makhluk hidup, serta berhentinya beberapa fungsi lingkungan (misal: pemurnian udara dan air, penjaga kesuburan tanah, pengendali alami temperatur dan iklim). Untuk es global yang mencair, gelombang panas, dan kekeringan ekstrim, di antara akibat langsungnya bagi masyarakat adalah banyaknya pulau kecil (berpenghuni maupun tidak) yang akan tenggelam serta semakin parahnya krisis air.

Uraian tersebut semakin menjelaskan kaitan erat antara penggunaan energi terbarukan dengan pemanasan global dan perubahan iklim bagi kita masyarakat Indonesia: bagian dari upaya bersama menghadapi keduanya dengan mengurangi laju bertambahnya emisi karbon yang dilepas ke lingkungan.

Patutlah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha-Esa, karena telah menganugerahkan kepada Indonesia berupa bentang alam yang dapat mendukung berkembangnya energi terbarukan di Indonesia, yakni: (1) matahari bersinar sepanjang tahun; (2) negara beriklim tropis sehigga tidak mengalami musim dingin yang membutuhkan panas secara massif; (3) memiliki lautan yang luas: sumber energi pasang-surut atau gelombang laut; (4) terdapat kawasan perkotaan besar yang padat: sumber energi dari sampah dan limbah; (5) rangkaian gunung api dan hutan: sumber energi panas bumi sekaligus fungsi konservasi air dan biodiversitas; (6) sungai, pegunungan, dan saluran irigasi: sumber energi air (pikohidro, mikrohidro, minihidro, PLTA); (7) biodiversitas terbesar ketiga di dunia: sumber diversifikasi energi berbasis makhluk hidup (biofuel berbasis ekstraksi tumbuhan atau ganggang, panas biomassa); (8) negara kepulauan: peluang kemandirian energi berbasis sumber daya terbarukan lokal. Sungguh, tak pelak lagi, pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.

Energi Surya dan Tantangannya

Pengembangan energi terbarukan di Indonesiamasih mengalami beberapa tantangan esensial. Hanya saja, tantangan tersebut bukan menghambat, tetapi justru memicu para praktisi, peneliti, dan pengguna energi terbarukan untuk terus berinovasi. Salah satunya adalah energi terbarukan yang memanfaatkan sinar matahari atau energi surya.

Energi surya sering disebut sebagai PLTS atau pembangkit listrik tenaga surya. Pada dasarnya, PLTS adalah sebuah sistem yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. Sistem tersebut sedikitnya terdiri dari panel surya (biasa pula disebut sel surya atau modul surya), baterai (penyimpan listrik), pengatur pengisian, dan inverter (pengubah jenis arus). Panel surya merupakan komponen yang dijemur menghadap matahari dan berfungsi mengubah sinar matahari menjadi listrik. Baterai dibutuhkan apabila listrik akan digunakan di malam hari atau sebagai alat untuk menstabilkan energi listrik dalam memasok peralatan peralatan elektronik sehingga dapat menyala.

Sementara pengatur pengisian digunakan untuk mengatur nyala-padamnya listrik saat mengisi baterai dan saat listrik dari baterai menyalakan alat elektronik, agar tidak melampaui batas tertentu sehingga dapat merusak baterai. Inverter sendiri berfungsi untuk mengubah arus listrik dari panel surya dan baterai yang sifatnya searah (atau biasa disebut DC, yakni listrik yang kutub positif dan negatifnya harus diperhatikan) menjadi arus bolak-balik (atau biasa disebut AC, yakni listrik yang lazim digunakan di listrik PLN). Pengubahan ini diperlukan karena kebanyakan peralatan elektronik membutuhkan listrik jenis bolak-balik.

Uraian komponen PLTS tersebut penulis sampaikan untuk menggambarkan betapa ringkasnya sistem PLTS bekerja, yakni dari sumber sampai dengan penggunaannya dalam menyalakan peralatan elektronik, sehingga dapat dipelajari dan dipahami secara cepat oleh masyarakat kebanyakan. Dikatakan sederhana apabila dibandingkan dengan sistem listrik PLN yang nampak ringkas dari perspektif pelanggan PLN, namun sesungguhnya merupakan sistem yang sangat kompleks, baik di sumbernya (pembangkitan di pembangkit listrik bertenaga uap yang berbahan bakar batu bara, gas, minyak atau pembangkit listrik tenaga turbin yang diputar oleh aliran air) maupun di distribusinya yang melibatkan sangat banyak komponen.

Apakah kemudian berarti penggunaan PLTS menjadi mudah di Indonesia? Belum tentu, mengingat harga listrik per satuan energi PLTS yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga listrik PLN. Di antara banyak faktor yang menyebabkan harga listrik PLTS belum mampu bersaing dengan harga listrik PLN adalah komponen PLTS yang sebagian besar masih impor.

Panel surya, misalnya. Panel surya yang berlabel perusahaan dalam negeri sudah ada dan dapat ditemui di pasaran. Namun produk tersebut tidak 100% buatan Indonesia. Biasanya perusahaan dalam negeri mengimpor lembaran sel surya dalam bentuk besar, kemudian dikemas dalam bentuk panel surya satuan daya tertentu dengan label merek dalam negeri, dan dijual di pasaran. Begitu pula dengan baterai, pengatur pengisian, dan inverter: sebagian telah dirakit di dalam negeri setelah impor dalam bentuk setengah jadi, sebagian yang lain masih 100% impor.

Sebagai gambaran betapa pentingnya bisnis komponen PLTS, data BPS (2019) menunjukkan kenaikan signifikan nilai impor panel surya pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Panel surya yang diimpor dalam bentuk lembaran besar naik dari 7,5 juta dolar AS pada 2016; menjadi 11,1 juta dolar AS pada 2017; dan kemudian mencapai 14,7 juta dolar AS pada 2018. Hal yang sama terjadi untuk panel surya yang diimpor dalam bentuk jadi: 11,8 juta dolar AS pada 2016; 19,4 juta dolar AS pada 2017; dan 33,8 juta dolar AS pada 2018.

Realitas ini sesungguhnya telah dicoba diantisipasi oleh Pemerintah RI melalui Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang menyatakan memfasilitasi pendirian industri hulu dan hilir PLTS. Meskipun demikian upaya ini belum nampak nyata hingga saat ini.

Asa Energi Surya

Pendirian industri hulu dan hilir komponen PLTS memang tidak mudah. Dibutuhkan upaya sungguh-sungguh dan serius dari Pemerintah RI bersama-sama dengan kalangan industri dalam dan luar negeri serta dukungan dari kampus sebagai jangkar ilmu pengetahuan dan teknologi, agar kemandirian industri komponen PLTS dapat dicapai.

Sementara tantangan lain yang tak kalah pelik adalah justru bukan dari teknologi, tetapi dari sosial dan kelembagaan. Tidak sedikit PLTS di berbagai wilayah di nusantara yang padam, jauh sebelum usia optimalnya, padahal panel surya sendiri memiliki usia teknis hingga mencapai 20-25 tahun. Hal tersebut terjadi, utamanya karena masalah teknis terkait dengan pemeliharaan dan penggantian komponen yang rusak. Kualitas sumber daya manusia (SDM) penerima manfaat yang belum mampu memelihara dan memperbaiki PLTS serta enggannya penerima manfaat untuk iuran, menjadi pelengkap-penderita realitas tersebut.

Pemahaman masyarakat yang belum maksimal tentang pentingnya iuran, misalnya. Iuran tersebut seyogyanya merupakan instrumen penting pendukung pemeliharaan rutin dan penggantian komponen minor saat terjadi insiden kerusakan. Sementara kelembagaan yang baik diperlukan untuk menggagas sinergisitas dengan sumber pendanaan (CSR, Pemerintah Desa, Kementerian terkait) untuk penggantian komponen mayor di kurun waktu tertentu.
 
Penggantian komponen mayor diperlukan, mengingat usia panel surya yang mampu mencapai 20-25 tahun harus diimbangi dengan penggantian baterai, inverter, dan pengatur pengisian yang usianya hanya sekitar 5-10 tahun.

Sedangkan rendahnya SDM penerima manfaat dalam memelihara dan memperbaiki PLTS hendaknya ditingkatkan dengan melibatkan pendidikan tinggi bersama-sama dengan Sekolah Menengah Kejuruan setempat untuk membangun jaringan pendukung pemeliharaan-perbaikan PLTS, utamanya dengan memanfaatkan kegiatan penelitian dan pengabdian. Perlu pula pendidikan tinggi bahu membahu dengan organisasi masyarakat sipil yang biasanya sudah memiliki akar kuat di tingkat komunitas, sebagai sasaran penelitian dan pengabdian tentang pengembangan energi surya.

Di tengah kompleksnya tantangan dalam pengembangan energi surya, pemberdayaan masyarakat berbasis energi surya tidak melulu gagal. Di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, terdapat PLTS yang berhasil memenuhi kebutuhan air baku sejak 2009 sampai saat ini 2019. Jumlah keluarga yang dilayani mencapai 213 sejak 2016.

Iuran berjalan dengan baik, masyarakat tertib dalam menggunakan air sesuai prosedur, petugas pemelihara menjalankan tugasnya, dan organisasi masyarakat sipil bersama perguruan tinggi penggagasnya masih terus berkomunikasi, pun dengan adanya dukungan penuh dari Pemerintah Desa, Kabupaten, hingga Provinsi. Alhasil, tiga pedukuhan ini dipercaya dan dinilai mampu dalam mengelola teknologi, sehingga mendapatkan hibah dan CSR untuk mengembangkan sistemnya pada 2014 dan 2016.

Dua Desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, energi surya terbukti mampu mengurangi beban masyarakat ketika digunakan dalam kegiatan produktif: memproduksi air minum dengan teknologi reverse-osmosis (RO). PLTS difungsikan untuk menyalakan pompa air dan mesin RO yang kapasitas produksinya mencapai 50 galon air per hari. Warung di dalam desa yang sebelumnya harus mengimporair minum dari luar desa dengan mengangkut air dengan perahu motor menyeberangi Sungai Batanghari, sekarang dapat membeli dari Unit Usaha Air Minum Badan Usaha Milik Desa setempat dengan harga yang lebih murah, yakni dari Rp 8.000,00 per galon menjadi Rp 6.000,00 per galon.

Tentu saja masih banyak kisah sukses lain tentang bagaimana energi surya mampu memberdayakan masyarakat dari seluruh penjuru nusantara. Dua ilustrasi di atas hendaknya dapat menjadi pemantik bagi masyarakat pengguna energi terbarukan lain agar mempublikasikan narasi keberhasilannya. Saling berbagi asa, dengan energi surya.

Apa yang penulis sampaikan dalam tiga tulisan bersambung ini, hendaknya dapat mendorong berbagai komponen bangsa untuk terus serius mengembangkan energi surya. Tantangan pasti ada, pun dengan asa. Pemanasan global dan perubahan iklim tak bisa diselesaikan oleh satu orang, tidak pula satu desa, pun oleh satu negara; tetapi hanya bisa ketika setiap komponen bangsa dari berbagai dunia, termasuk Indonesia, untuk turut berperan serta. Dan asa di energi surya masih ada.

Penjelasan lebih lengkap tentang energi terbarukan khususnya energi surya dari sudut pandang fikih dan teknis di antaranya dapat dibaca dalam dua buku terbitan Lakpesdam PBNU tahun 2018 yang berjudul Fikih Energi Terbarukan – Pandangan dan Respons Islam terhadap PLTS dan Energi Surya Berbasis Komunitas – Meningkatkan Produktivitas Masyarakat Pedesaan melalui Energi Terbarukan.


Penulis adalah Ketua Bidang Riset dan Pengembangan PW LPBI NU DIY, Peneliti Pusat Studi Energi UGM