Opini

Diplomasi Tiongkok Gus Dur Membelah Arus Utama Politik Amerika

Sab, 17 Desember 2022 | 15:47 WIB

Diplomasi Tiongkok Gus Dur Membelah Arus Utama Politik Amerika

Presiden Gus Dur bertemu dengan Presiden Tiongkok Jiang Zemin (dokumen istimewa)

Oleh Virdika Rizky Utama

13 tahun lalu, tepatnya 30 Desember 2009, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meninggal. "Ad-Dakhil" memang kembali ke haribaan ilahi, tapi siapa sangka kebijakan politik Indonesia berubah drastis pada kepemimpinannya. Dia memecah anggapan bahwa Indonesia tunduk pada kuasa ‘negara barat’, terutama Amerika Serikat. 

 

Presiden keempat RI itu membangun ulang hubungan diplomasi dengan negara-negara Asia, terutama Tiongkok. Sebuah langkah politik yang tidak dilakukan oleh para presiden RI setelah Soekarno.

 

Sejak Soeharto berkuasa pada 1966, Indonesia terlihat jelas berpihak dan mengikuti garis politik luar negeri AS dengan punya pengaruh besar di ASEAN untuk tidak bekerja sama dengan Tiongkok hingga 1989. Padahal, saat itu Indonesia masih memegang prinsip politik luar negeri bebas-aktif. 

 

Begitu juga pada Era BJ Habibie. Indonesia sangat tergantung pada Amerika Serikat secara politik dan ekonomi. Salah satunya terlihat dalam penyelesaian kasus Timor Timur. Habibie menggelar referendum untuk Timor Timur. Suatu langkah yang dipandang lebih demokratis dan menjunjung HAM. Namun, langkah itu sebenarnya tak bisa lepas dari pengaruh AS. 

 

Pemerintahan Habibie dijanjikan mendapatkan dana pinjaman dari IMF sebesar $1 miiliar, bila berhasil mengentaskan masalah Timor Timur dan korupsi (Stevenson, 1998). Sayangnya, bantuan itu urung cair karena adanya aksi pembakaran desa di Timor Timur oleh TNI. 

 

Setelah Habibie lengser dari jabatan presiden, Gus Dur mengambil langkah yang jauh berbeda. Tak ingin  bergantung pada negari Paman Sam, Gus Dur membuka diri untuk berhubungan lebih dekat dengan negara-negara Asia. 

 

Dalam beberapa kunjungannya ke negara Asia Pasifik, Gus Dur seperti memiliki intensi yang besar kepada Tiongkok. Gus Dur mengumumkan kebijakan menuju ke Asia untuk menyeimbangkan Barat. Gagasan utama dari prakarsa ini adalah untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia, India, Tiongkok, Jepang dan Singapura untuk melawan pengaruh Barat dan mengurangi ketergantungan pada Barat.


Meskipun akan berlebihan untuk menyamakan kebijakan Gus Dur dengan GANEFO-nya Sukarno pada tahun 1960-an, kebijakan ini merupakan kebijakan penyeimbang eksternal di mana Indonesia menyeimbangkan tekanan dari Barat melalui penempaan keberpihakan formal atau informal dengan Cina, India, dan negara-negara Asia lainnya, terutama setelah intervensi Timor Timur dan krisis ekonomi. 

 

Dalam empat bulan pertama setelah menjabat, Gus Dur mengunjungi 26 negara di Asia-Pasifik, dan Kementerian Luar Negeri RI menjelaskan bahwa politik luar negeri aktif Gus Dur adalah untuk 'membangun kembali citra Indonesia yang sangat baik di mata dunia internasional (Smith, 2000). Untuk melaksanakan kebijakan ini, Gus Dur memilih Tiongkok untuk kunjungan kenegaraan pertamanya pada Desember 1999 guna meningkatkan hubungan bilateral dengan Tiongkok. 

 

Membaca Masa Depan
Gus Dur menilai bahwa Tiongkok akan menjadi salah satu kekuatan besar di dunia, setelah runtuhnya Uni Soviet. Gus Dur membaca apa yang dilakukan oleh Tiongkok pada akhir 1980-an untuk kembali menjadi negara besar. 

 

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sejak akhir 1970-an ketika di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping reformasi dimulai, ekonomi Tiongkok tumbuh pada tingkat lebih dari 10 persen tiap tahunnya selama lebih dari tiga dekade yang telah menyebabkan ekonomi Tiongkok melampaui raksasa tetangga mereka Jepang dan menyebabkan tantangan bagi Amerika Serikat (Majid Noonari, 2011). 

 

Lebih lanjut, ketika krisis keuangan Asia melanda Asia 1997 juga mengguncang perekonomian ASEAN juga. Itu adalah masa-masa tersulit bagi ASEAN karena mereka menghadapi krisis keuangan untuk pertama kalinya sejak berdirinya organisasi tersebut. Tiongkok datang untuk membantu ASEAN pada saat dibutuhkan untuk bangkit dari krisis (Majid Noonari, 2011). 

 

Selain itu, kebijakan dalam luar negeri Tiongkok juga sudah berubah sejak 1989. Kebijakan luar negeri Tiongkok saat itu mengikuti strategi kebijakan luar negeri taoguangyanghui (Keep Low Profile, selanjutnya—KLP) yang diadopsi oleh Deng Xiaoping selama 1990–1991 (Yan Xuetong, 2014). KLP berfokus pada pembangunan ekonomi melalui kerja sama ekonomi dan juga mulai membuka diri serta terlibat dalam pergaulan komunitas internasional. 

 

Kerja sama dengan Tiongkok juga dirasa lebih mudah dilakukan oleh Gus Dur menggunakan sejarah dan kebudayaan. Dalam sejarah, Indonesia-Tiongkok sudah menjalin hubungan berabad-abad lalu. 

 

Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming, Tiongkok merupakan salah satu penyebar Islam tersukses di nusantara. Bahkan Gus Dur juga berseloroh bahwa dirinya merupakan keturunan Tiongkok. Hal itu dapat mencairkan hubungan Indonesia-Tiongkok daripada harus menjalankan diplomasi yang formal dan kaku. 

 

Indonesia coba mencegah intervensi kemanusiaan NATO seperti yang terjadi di Kosovo yang berhasil memerdekakan diri. Oleh sebab itu, Indonesia mencari dukungan internasional untuk integritas dan kedaulatan wilayah sekaligus mencegah pengakuan kemerdekaan Aceh dan Papua.

 

Tiongkok dan negara berkembang lainnya menjadi sahabat alami bagi Indonesia karena keprihatinan yang sama. Terakhir, Gus Dur berharap kunjungannya dapat menghasilkan lebih banyak bantuan keuangan dan investasi bagi Indonesia, yang merupakan kunci pemulihan ekonomi Indonesia. 

 

Membandingkan kebijakan perimbangan Gus Dur dengan kebijakan kompromi Habibie terhadap tekanan Barat, kita dapat mengidentifikasi lebih jauh peran legitimasi politik dalam membentuk perilaku negara. Menghadapi tekanan tinggi serupa dari Barat, pemerintah Habibie dengan legitimasi politik rendah memilih konsesi atas masalah Timor Timur dengan harapan mempertahankan dukungan politik dan ekonomi. 

 

Gus Dur mengusulkan kebijakan penyeimbangan dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia berdasarkan legitimasi politiknya yang tinggi. Pandangan Gus Dur terhadap kebijakan Asia pada akhirnya gagal karena respons yang tidak bersahabat dari negara-negara utama Asia lainnya.

 

Di bawah sistem internasional unipolar di era pasca-Perang Dingin (setidaknya sampai awal 2000-an), tidak ada negara yang mau menantang Amerika Serikat “menggunakan” Indonesia. 

 

Dua puluh tahun berlalu, apa yang diperkirakan Gus Dur tentang bangkitnya Tiongkok dan pentingnya kerja sama dengan Tiongkok sudah terbukti—tentu dengan segala bentuk dinamikanya. 

 

Perimbangan kekuatan politik luar negeri tak hanya terjadi di Indonesia; perihal ekonomi dekat dengan Tiongkok dan keamanan dengan Amerika Serikat. Hal itu pun terjadi di ASEAN saat ini bahkan ASEAN menjadi titik temu berbagai macam kekuatan dunia. Dan Indonesia memainkan peran penting untuk politik kawasan Asia Tenggara ini. 

 

Hapus Relasi Bawahan
Di sisi lain, diplomasi dengan Tiongkok juga menjadi penyeimbang, sehingga Indonesia tidak terlalu bergantung dengan AS. Terlebih, Indonesia tidak hanya dipandang sebagai negara pelaksana perintah. 

 

Indonesia memang punya catatan hitam terkait pembantaian etnis Tionghoa pada Mei 1998, dan respons sangat keras oleh Tiongkok. Dikutip dari People’s Daily, Tiongkok menuntut agar pemerintah Indonesia 'menghukum para perusuh, mengambil tindakan efektif untuk mencegah terulangnya insiden semacam itu dan melindungi hak dan kepentingan sah etnis Tionghoa di Indonesia' (People’s Daily, 1998). Tak hanya itu, Menteri Luar Negeri Tiongkok saat itu Tang Jiaxuan menyatakan bahwa Tiongkok 'sangat mementingkan serangan terhadap etnis Tionghoa dan menuntut mereka yang bertanggung jawab 'dihukum serius' (Xinhua News Agency, 1998). Hal itu merupakan tekanan diplomatik Tiongkok yang pertama sejak 1960-an.

 

Pasca reformasi, Habibie memang mengubah nada curiganya untuk mengutuk kejahatan anti-Tionghoa. Namun, tidak ada tuntutan nyata terhadap pejabat tinggi militer yang dilakukan. Pencopotan Letnan Jenderal Prabowo dari Kopassus pada Juni 1998 lebih disebabkan oleh perjuangan politik di militer, bukan sebagai hukuman atas perannya dalam kerusuhan Mei 1998. 

 

Namun, Habibie tak banyak menggubris. Sebab tekanan Tiongkok cukup lemah karena tak diiringi dengan ancaman sanksi untuk Indonesia. Justru, pemerintah Tiongkok tetap memberikan bantuan medis tanpa syarat sebesar $3 juta kepada Indonesia dan menandatangani paket pinjaman ekonomi sebesar $200 juta untuk Indonesia pada bulan Agustus 1998 (Antara News, 1998). Alasan mengapa Tiongkok mengeluarkan kebijakan itu, tak bisa diketahui lebih lanjut.

 

Terlepas dari bantuan Tiongkok yang bisa dibilang ‘cuma-cuma’ itu, Gus Dur memang mempunyai komitmen yang lebih dalam mengusut kejahatan kemanusiaan dalam tragedi Mei 1998.  Dalam beberapa kebijakan domestiknya, bahkan Gus Dur mengupayakan untuk menghapus diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa—mulai dari perayaan imlek dan diakuinya Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. 

 

Namun, tak bisa dipungkiri jika misi kemanusiaan Gus Dur, salah satunya dalam upaya menuntaskan tragedi Mei 1998 dan kebijakan yang dikeluarkannya mungkin saja menambah simpati Tiongkok terhadap Indonesia. Tentunya, ini membuat hubungan antar sesama negara Asia jadi lebih baik.

 

Virdika Rizky Utama adalah Peneliti PARA Syndicate. Saat ini menjadi Mahasiswa Pasca-sarjana Ilmu Politik Shanghai Jiao Tong University