Opini

Di Balik Upaya Delegitimasi KPU

NU Online  ·  Jumat, 12 April 2019 | 10:10 WIB

Di Balik Upaya Delegitimasi KPU

Kantor KPU (Foto: istimewa)

Oleh Juri Ardiantoro

Mendekati hari pemungutan suara 17 April 2019, KPU sebagai penyelenggara pemilu mengalami serangan bertubi-tubi. Dari pemilu ke pemilu serangan sebagai upaya-upaya delegitimasi penyelenggara pemilu selalu saja muncul, namun penulis mencatat bahwa pada pemilu 2019 inilah serangan ke KPU sangat berat dan dilakukan secara sitematis.

Upaya delegitimasi paling mutakhir adalah informasi yang diviralkan video 'penggerebekan' pencoblosan surat suara illegal yang seolah-olah untuk memenangkan pasangan 01 dan calon dari Anggota DPR RI dari Partai Nasdem oleh tim sukses pasangan nomor 02 di sebuah ruko di Selangor Malaysia. Meskipun banyak kejanggalan yang dapat dilihat dari video tersebut dan belum ada investigasi secara mendalam dari pihak yang berkompeten, masyarakat sudah digiring untuk mempersepsi bahwa penyelenggara pemilu sudah melakukan kecurangan.

Peristiwa serupa sebelumnya juga terkait dengan kekagetan kita semua dengan adanya informasi dan diviralkan adanya 7 kontainer berisi 70 juta surat suara dari China yang telah tercoblos yang pada saat itu, surat suara saja belum diproduksi oleh KPU. Kejadian lain yang serupa juga dimunculkan dengan video pencoblosan dini di Medan yang diframing sebagai kecurangan. Padahal peristiwa yang divralkan itu adalah kejadian pilkada Medan tahun 2015.

Pada hari-hari ini juga muncul pembualan dari akun di medsos yang mengaku mendapatkan informasi penting tentang kecurangan pemilu 2014 yang disimpan dalam flashdisk almarhum Husni Kamil Manik Ketua KPU saat itu.

Penulis menilai bahwa kejadian ini menyambung serangkaian peristiwa sebelumnya yang mengarah pada serangan serius dan berbahaya sebagai upaya sistemik mendelegiitiasi penyelenggara pemilu, seperti pem-bully-an kepada KPU saat memutuskan menggunakan kotak suara yang terbuat dari bahan karton kedap air dengan dikatakan “kota suara kardus”, padahal kotak serupa sudah dipkai sejak Pemilu 2014 dan berlanjut pada Pilkada tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018.

KPU juga baru-baru ini diserang dengan pernyataan Amien Rais di akhir Maret 2019 yang mengkampanyekan dan mendorong munculnya people power jika terjadi kecurangan untuk memperotes hasil pemilu. Pemilu saja belum berlangsung, bagaimana Amien Rais tahu ada kecurangan-kecurangan?

Tuduhan heboh selanjutnya yaitu video yang penjelasan tim 02 yang mengklaim bahwa KPU sudah menyeting server KPU dengan mematok kemenangan pasangan 01 sebesar 57 persen. Mereka lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa hasil resmi yang akan menjadi dasar KPU menetapkan hasil pemilu adalah hasil yang diitung secara manual dan berjenjang/bertingkat, disaksikan semua pihak dan pindai (scan) dan di-upload form C1, sebuah formulir perolehan suara paling otentik.

Baru-baru ini juga muncul sekelompok orang yang menamakan dirinya Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil dan Berintegritas (BMPPAB), mereka mengklaim telah menemukan sebanyak 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) dinilai bermasalah, yakni data pemilih yang dianggap janggal dan tidak wajar, yakni 17,5 juga pemilih dengan tanggal kelahiran 1 Januari, 1 Juli dan 31 Desember. Sekilas masyarakat bisa terkecoh dengan manuver ini, seolah ada akal-akalan pemerintah dalam merekayasa administrasi kependudukan untuk kepentingan pemilu. 

Mereka tidak mau tahu dijelaskan bahwa ada peraturan yang berlaku sejak tahun 1970-an karena banyak WNI yang tidak mengetahui dan diketahui kapan tanggal lahirnya, maka untuk kepentingan administrasi kependudukan, dibuatkan tanggal untuk mereka, yakni yang awalnya 31 Desember kemudian menjadi dua pilihan, yakni 1 Januari dan 1 Juli. Data ini nyata dan dapat diverifikasi dan sudah dilakukan proses pemutakhiran lapangan (pencocokan dan penelitian) oleh petugas KPU saat mereka memasukan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Viral informasi hasil penghitungan suara di luar negeri dengan kemenangan mutlak pasangan 02 baru-baru ini menambah kesesatan informasi. Informasi ini menyesatkan karena pemungutan suara saja belum, sebagaian saja sudah dilaksanakan dari 130 negara perwakilan. Sementara penghitungan suara, baru akan diitung secara serentak dengan pemilu di dalam negeri tanggal 17 April 2019.

Kita semua tentu saja harus menolak upaya-upaya kecurangan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk mencoblos secara ilegal untuk kemenangan salah satu kontestan. Oleh karena itu, harus kita dorong seluruh perangkat penyelenggara dan perangkat hukum untuk memproses dan menghukum siapa saja yang berupaya dan melakukan kecurangan. Akan tetapi, jangan buru-buru membangun opini dan stigma bahwa penyelenggara pemilu memihak salah satu kontestan, apalagi dikaitkan dengan kepentingan petahana.

Penulis menilai, sebuah organsiasi berhimpunnya para mantan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dan salah satu pendiri NETGRIT (Network for Democracy and Electoral Integrity) mensinyalir secara kuat adanya upaya-upaya berbahaya untuk mendelegitimasi penyelenggara KPU. Sebagai mantan penyelenggara pemilu, penulis memandang upaya-upaya sistemik seperti di atas sangat berbahaya, bukan saja kepada konteks kontestasi yang adil tetapi juga membangun ketidakpercayan masyarakat.

Ujung dari upaya-upaya ini dikhawatirkan masyatakat akan mudah disulut untuk memprotes hasil pemilu dengan cara-cara di luar koridor hukum. Bahkan ada ancaman-ancaman akan ada chaos. Sungguh suatu hal yang berbahaya bagi demokrasi dalam pemilu yang telah selama ini susah payah dibangun hanya untuk sekadar memuaskan kepentingan-kepentingan kekuasaan sekelompok orang.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk memberikan kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu untuk berkerja profesional, terbuka dan mandiri serta melawan setiap upaya sekelompok orang yang akan merusak proses pemilu ini, semata-mata demi pemilu yang berkualitas dan hasilnya kita akui sebagai prestasi bangsa.


Penulis adalah Ketua KPU DKI Jakarta 2008-2013, Ketua KPU RI 2016-2017, Koordinator Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI)