Opini

Berselancar di Oase Pemikiran

Ahad, 10 Februari 2019 | 01:15 WIB

Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Siang itu saya mengikuti majelis kecil yang dihadiri oleh orang-orang besar. Ada Mentri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, Romo Magnis Suseno, Prof John Titaley, Prof Komarudin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Haidar Bagir, Asvinawati, Savic Ali, Ari Kriting, dan beberapa tokoh lainnya. Forum yang dimotori Alissa Wahid ini memang unik karena berhasil mempertautkan beragam manusia dari latar belakang sosial dan profesi. Mulai intelektual, pejabat, aktivis, budayawan, seniman, artis sampai pengamen seperti saya. Mulai generasi senior sampai generasi millenial.

Siang itu kami berbicara mengenai penodaan dan pelecehan agama. Yang makin marak di negeri ini.
Saat memberikan kata pengantar mas Lukman menyampaikan adanya kekosongan norma hukum terkait dengan persoalan penodaan dan penistaan agama, misalnya soal definisi agama, pengertian penistaan, siapa yang berhak mementukan suatu tindakan itu dianggap penistaan atau penodaan, siapa yang berhak menentukan batasan pokok ajaran agama dan sebagainya. Semua ini membuat tiadanya kepatian hukum yang rentan terhadap munculnya konflik.

Setelah itu paparan dari Asvinawati (Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang menyampaikan pengalaman dan data-data empirik selama memberikan dampingan dan advokasi terhadap kasus penistaan agama. Ada beberapa hal menarik dari paparan Asvinawati dan komentar dari audiens. Di antaranya, pertama, secara yuridis ada berbagai problem kasus penodaan dan penistaan agama baik pada aspek norma hukum, struktur atau subjek hukum dan budaya hukum.

Kedua, penindakan kasus penodaan agama lebih banyak tidak memenuhi unsur-unsur yuridis karena banyak dakwaan yang dalam persidangan tidak terbukti, terpatahkan argumennya, bukti yang tudak valid dan sejenisnya tapi terdakwa tetap dihukum hanya karena tekanan publik. Belum lagi soal saksi yang enggan menjadi saksi di pengadilan karena takut pada tekanan dan intimidasi. Pendeknya, banyak norma hukum yang tidak memadai untuk menjerat mereka yang dituduh melakukan penodaan dan penistaan agama.

Ketiga, banyak aparat yang lebih mengedepankan aspek ketenteraman dan keterbitan daripada aspek yuridis formal. Artinya meski secara normatif hukum tidak memadai tapi terpaksa ditindak demi menjaga ketertiban. Dalam kondisi demikian biasanya aparat cenderung bersikap tidak tegas dan kelompok yang lemah biasanya menjadi korban dan dipaksa mengalah.

Pembicaraan semakin menarik ketika memasukkan perspektif sosiologis-kultural. Keberagaman kondisi sosial dan konstruksi budaya dengan segenap norma yang ada di masyarakat menimbulkan kerumitan ketika hukum positif formal diterapkan. Di sini terjadi benturan antara hukum positif dengan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat, karena banyak aspek kultural etik yang tidak ter-cover oleh hukum positif. Dalam konteks ini perlu ada upaya pendekatan kultural etik dalam menangani kasus penodaan agama untuk melengkapi pendekatan yuridis formal. Selain itu perlu juga menyerap nilai kearifan lokal dalam formasi hukum positif.

Yang lebih seru ketika bicara soal definisi agama, pemegang otoritas dalam menentukan standar penistaan sampai pada peran negara dalam menjaga dan melindungi agama lokal di Indinesia. Persoalan menjadi lebih rumit ketika hal ini dihadapkan dengan sikap fanatisme sempit dan pola pikir formalis tekstual para pemeluk agama yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dan mengabaikan hukum positif.

Sebagaimana yang terjadi pada kasus Qadri yang membunuh Gubernur Punjab, Salem Taseer karena dianggap menentang UU penodaan agama. Peristiwa di Pakistan ini bukan tidak mungkin terjadi di begeri ini meski dengan skala dan modus yang berbeda. Berbagai kasus ini mencerminkan bagaimana sensitifnya UU penodaan agama sehingga terlalu riskan untuk dicabut dan dihilangkan.

Yang lebih memungkinkan adalah melakukan revisi terhadap undang-undang yang terkait dengan penodaan agama khususnya UU PNPS tahun 1965 pasal 1 dan KUHP pasal 165 a yang dianggap sudah tidak memadai dan problematis. Ini merupakan upaya menciptakan kepastian hukum yang bisa dijadikan pegangan bersama dalam menyikapi dan menjawab kekosongan norma hukum terkait dengan masalah penodaan agama. Selain itu hal ini juga merupakan realisasi putusan MK yang menganggap perlunya revisi UU Penodaan agama agar tidak terjadi kerancuan tafsir.

Selain persoalan hukum, yang penting dilakukan adalah mengembalikan aspek akhlak dalam kehidupan beragama. Karena saat ini aspek akhlak ini hampir hilang tergerus oleh kuatnya arus syariah yang simbolik formal. Hilangnya akhlak membuat sikap keberagamaan menjadi kering dan keras. Hal lain yang penting dicatat adalah aparat harus tegas pada kelompok yang sering main pressure dan negara harus kuat agar bisa melindungi kelompok minoritas yang justru sering mendapat penistaan.

Di akhir diskusi semua peserta bersepakat mengenai rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa ini yang tidak mungkin diselesaikan hanya dengan mengedepankan satu aspek saja. Perlu ada sinergi dan integrasi dari berbagai aspek untuk menjawab persoalan yang rumit dan kompleks ini. Untuk itu diperlukan kerendahan hati dan kearifan tinggi untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Di forum ini semua dapat bicara bebas, tanpa caci maki dan provokasi. Tak ada batas dan sekat. Semua ikhlas mendengar dan berbicara, saling menghargai dan menghormati. Mengikuti pembicaraan siang itu, saya seperti berselancar dan menyelam di oase dengan airnya jang jernih dan sejuk.

Di sini saya tidak hanya bisa minum airnya yang jernih, tetapi juga bisa mencuci berbagai kotoran dan residu "air" politik yang keruh yang setiap hari datang membanjiri pikiran. Hiruk pikuk politik terasa senyap di forum ini, berganti harmoni yang penuh kasih dengan nada-nada cinta yang indah. Semoga forum ini terus bisa bertahan. Tabik.


Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta