Kebesaran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai artefak sejarah yang masih hidup mendadak bagai kenangan lama. Sekadar nama besar “NU”. Sebuah perkumpulan massa (mayoritas), tetapi tertindas dan dihancurkan di berbagai sendi hidupnya. Di sisi lain, ada fakta eksternal lebih dominan yang berperan kuat menghancurkan sendi-sendi kehidupan, sosio-politik, bisnis, hingga mentalitas kader dan warga NU. Fakta eksternal itu dikenal dengan “politik genosida NU” (strategi penghancuran NU).
Banyak instrumen kekuatan NU yang hancur, dipangkas agar tidak eksis, dikerdilkan, dimatikan sampai tingkat basis, dan embrionya dimumikan. Melihat ulang fakta sejarah, di awal abad ke-20, dalam kurun 10 tahun, KH Wahab Chasbullah (1888-1971), kiai berjiwa muda, intelektual, dan dinamis ini mensolidkan barisan Islam tradisional. Didukung tokoh kharismatik, KH Hasyim Asy’ari (1871-1947), Kiai Wahab membuat titik-titik kekuatan Islam tradisional sebagai sendi perlawanan kolonialisme dan untuk merubah nasib bangsa.<>
Nahdlah Sebelum NU
Tidak sedikit aktivitas ditekuni Kiai Wahab, sebagaimana pernah ditulis Andree Feillard. Sarekat Islam, berdiri pada 1912 di Surabaya, diikuti Kiai Wahab. Bersama Soetomo, aktif di Islam Studie Club. Pada 1916, mendirikan Nahdlatul Wathan (NW). Madrasah dengan ukuran besar dan gedung bertingkat di Surabaya. Salah satu ulama terkenal yang menjadi pengasuh NW adalah KH Mas Mansur (hijrah memimpin Muhammadiyah pada 1922).
NW berkembang menjadi tempat penggemblengan dan kaderisasi remaja Islam (Jamiyyah Nasihin). Cabang NW sampai di Malang, Sidoarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan, Semarang, dan banyak daerah lain. Untuk meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat tradisionalis, pada 1918, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (NT). NT dirancang sebagai koperasi perdagangan untuk memperlancar perekonomian berbasis usaha dagang atau pertanian tradisional.
Untuk menguatkan semangat mengaji, belajar, dan kekuatan epistemologis cara pandang Islam tradisional yang sangat progresif dan moderat, menjelang 1919 didirikan madrasah Tasywirul Afkar. Tempat belajar bagi anak-anak yang terletak di Ampel, Surabaya. Para pemuka Islam tradisional sudah mempersiapkan kader-kader intelektual sejak dini yang secara epistemik dapat meluruskan pandangan negatif terhadap tradisionalisme.
Hujatan, Perlawanan, dan NU
Baru pada awal 1920-an, terbuka hubungan memanas antara Islam tradisonal dan Islam modernis. Mulai retak ukhuwah Islamiyah—sesuatu yang sangat dibenci Allah—ini dipicu kalangan Islam modernis yang “menyerang” dan “menjelek-jelekkan” tradisi keagamaan Islam tradisional.
Di pihak Islam modernis, ada Syekh Ahmad Surkati (pendiri Al-Irsyad) dan KH Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). KH Wahab Chasbullah mewakili Islam tradisionalis. Perdebatan dua kubu ini juga terjadi di forum Sarekat Islam. Tetapi, dengan paradigma Islam tradisional yang luwes, Kiai Wahab dan KH Hasyim Asy’ari tidak menolak sepenuhnya pendapat kaum modernis tentang sistem pendidikan modern. Tetapi, menolak meninggalkan mazhab.
Pada 1922, masalah Islam tradisional dan Islam modern semakin panas dalam Kongres Al-Islam di Cirebon. Islam modernis menggunjing tradisi-tradisi Islam tradisional sebagai perbuatan syirik. Sebaliknya, kalangan tradisional menuduh kafir kepada Islam modern. Dari situ, Kiai Wahab mulai punya inisiatif membuat gerakan yang mewakili Islam tradisional. Tetapi, ide itu ditolak Kiai Hasyim, dikhawatirkan semakin memecah umat Islam.
Dari masa itu, di bawah badan Ta’mirul Masjid, digalakkan kursus-kursus untuk 65 guru muda tiga kali seminggu di NW. Kemudian mensolidkan barisan dalam Pemuda Tanah Air (Syubbanul Wathan) pada 1924 yang berperan dalam bidang dakwah, membahas masalah agama, peningkatan pengetahuan dan inteletualitas bagi anggota, dan sebagainya.
Bulan Januari 1926, Kiai Wahab berhasil melobi tokoh-tokoh kiai untuk mendirikan wadah bagi kalangan Islam tradisional dan ide itu direstui Kiai Hasyim (NU). Kobar semangat sangat besar setelah wakil Islam tradisional “disingkirkan” untuk menjadi wakil dalam Kongres Islam di Mekah pada 1926 pada Kongres Al-Islam di Bandung.
Kekuatan dan Jasa NU Dihancurkan
Salah satu maksud Kongres Islam di kerajaan Raja Ibnu Saud itu untuk menghancurkan sendi-sendi kekuatan Islam tradisionalis (NU), yakni, menyebarkan ajaran Wahabi—yang dianut Muhammadiyah dan Al-Irsyad—untuk purifikasi (pemurnian) Islam dengan panji anti takhayul, bid’ah, dan khurafat, serta melarang bermazhab. Padahal, Islam modern sendiri pengikut mazhab Ibnu Taimiyah/Ibnu Abdul Wahab/Wahabi.
NU dengan tradisi tahlil, barzanji, ziarah kubur, dan sebagainya, dituduh mengidap takhayul, bid’ah, dan khurafat yang harus dibasmi. Empat mazhab NU juga tidak sesuai semangat purivikasi Wahabisme (Saudi-Muhammadiyah-Al-Irsyad) sehingga harus dihancurkan. Persoalan ini menjadi sangat politis dan menghancurkan NU setelah kader dan antek-antek Wahabi di Indonesia (Islam politik/Wahabi) menduduki struktur kekuasaan bersama kolonial.
Misalnya, NT, basis perekonomian rakyat tradisionalis (mayoritas) dihancurkan oleh kekuatan jaringan ekonomi kolonial atas didukung golongan modernis di Indonesia. NT perlu dihabisi karena kebangkitan pedagang-pedagang pribumi akan mengancam arus modal, distribusi barang, dan kekuatan ekonomi kolonial yang coba memonopoli perekonomian Indonesia.
Di bidang pendidikan, pemikiran, intelektualisme, dan riset melalui Tasyawirul Afkar, NW, dan Syubbanul Wathan, turut serta dihancurkan. Cara yang digunakan adalah politik pecah-belah. Misalnya, dikembangkan pemikiran keagamaan berbahaya ala Wahabi lewat antek-anteknya di Indonesia yang melihat persoalan hitam-putih.
Artinya, pemikiran keagamaan yang tidak sesuai Islam modern (Wahabi)—seperti tradisionalisme NU—wajib dihanguskan dari muka bumi. Jika perlu, cara kekerasan sistematis dipergunakan menghabisi NU. Sengaja, kalangan tradisional didesain sistematis agar tidak pandai dan tidak tahu banyak informasi. Semakin cerdas kalangan tradisionalis semakin gencar serangan terhadap kolonialisme dan ajaran Wahabi ala Islam modern.
Maarif dan Pondok Pesantren (Nahdlatul Wathan) sebagai instrumen pendidikan Nahdliyin turut dilemahkan, yakni, melalui ordonansi guru. Aturan yang memiliterisasi kurikulum pendidikan di Indonesia dan terus diawasi pemerintah. Itu sebagai syarat agar pemerintah (Depertemen Pendidikan Nasional) bersedia memberikan bantuan dana untuk kemajuan pendidikan NU. Namun, militerisasi pendidikan ditolak karena salah satu skenario penjajahan.
Pada dimensi militer, NU juga dihancurkan melaui politik modernisasi. Suatu aturan modern yang mensyarakatkan tentara harus berijazah sebagai syarat rasional aturan modern. Padahal, tentara-tentara NU yang terlibat dalam perang kemerdekaan dan penyelamatan bangsa (Barisan Ansor Serbaguna/Banser, dan sebagainya) saat kerusuhan, tidak punya ijazah. Mereka kebanyakan mengenyam pendidikan di pesantren yang tidak mengeluarkan ijazah versi resmi penguasa.
Dimensi politik NU turut dihancurkan. Dilakukan melalui deideologisasi dan defungsionalisasi partai politik yang berujung pada fusi (penyatuan) partai politik pada 1973. Sehingga, NU tidak punya alat partai politik yang bisa menyalurkan dan mewujudkan tujuan mayoritas rakyat Indonesia yang tertindas (penduduk Indonesia yang mayoritas tradisionalis).
NU Bangkit Betulan
Andaikan sendi dan basis kekuatan NU yang sudah dirancang sejak sebelum NU berdiri tidak hancur oleh politik genosida, NU tidak akan jadi kenangan manis masa lalu. Namun, NU menjadi pilar kuat kemajuan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah kaum tradisional yang sangat menghargai budaya, tradisi, kearifan lokal, falsafah hidup bangsa, dan sebagainya, yang diwariskan kakek-buyut, nenek moyang, dan ibu-ayah yang telah melahirkannya.
Mayoritas rakyat pedagang dan petani tradisional yang tergabung dalam NT sangat mungkin sekarang ini sudah menjadi pengusaha sukses, konglomerat, miliarder, dan sejahtera dalam ukuran ekonomi. Orang terkaya di Indonesia tidak dimonopoli Aburizal Bakri dan kelompoknya, penguasaha yang merugikan bangsa Indonesia.
Maarif dan pondok pesantren, seumpama tidak hancur dan dimatikan secara struktural, sekarang ini sangat mungkin menjadi perguruan tinggi yang punya pengaruh besar bagi peradaban Islam di Indonesia. Perguruan tinggi atau pusat pendidikan yang punya nilai tawar pada level nasional maupun internasional. Dapat mengalahkan “kegagahan” Universitas King Abdul Aziz, Universitas Madinah, dan universitas lain di Timur Tengah (Timteng). Karena banyak kiai dari Indonesia yang belajar dan sekaligus menjadi guru yang patut diperhitungkan di negara Timteng. Misalnya, Syehk Mahfudz al-Tarmasy (asal Termas) dan Syehk Ahmad Khatib al-Minangkabaui yang menjadi guru Kiai Hasyim maupun Kiai Wahab.
Sedangkan, Tasywirul Afkar mungkin tidak muncul sebagai jurnal kecil dan kacangan yang akhir-akhir ini diterbitkan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU. Tetapi mejadi pusat studi, kajian, penelitian, dan penerbitan buku-buku legendaris berpengaruh dalam skala internasional.
Di bidang militer, tentara NU dalam perjuangan kemerdekaan atau para Banser, misalnya, bisa jadi sekarang sudah menduduki tahta sebagai jenderal bintang lima yang mengkomando seluruh prajurit. Tidak seperti sekarang yang masih menjadi Banser dengan jargon “ikhlas beramal”, tapi miskin ekonomi dan susah hidup. Pasalnya, pada 10 November 1945 penah dikeluarkan resolusi jihad untuk bertempur melawan tentara NICA (sekutu) yang mendarat di Surabaya, 10 November, sekarang dikenal dengan Hari Pahlawan (tepatnya, Hari Pahlawan/Tentara NU).
Di bidang politik, warga NU bisa menyalurkan aspirasi dan sekaligus pemegang kebijakan pemerintahan untuk memvonis segala kebutuhan yang dibutuhkan rakyat. Bukan sekadar politik untuk menduduki posisi sebagai menteri agama dan departemen agama melulu. Namun, juga wilayah lain yang berkaitan dengan kebijakan pertahanan, teknologi, industri, kehutanan, kelautan, dan sebagainya.
Sehingga, nalar inlander, minderan, rendah diri, tidak percara diri, dan kerdil yang telah menumbuh dan mewaris di kalangan tradisionalis (mayoritas bangsa ini) tidak akan terjadi. Pribumi (tradisionalis mayoritas) tidak akan menjadi manusia kelas tiga yang layak dipunahkan dalam proses evolusi kehidupan setelah Eropa dan para pengusaha asing.
Fakta ketertindasan dan kemiskinan kaum tradisionalis oleh politik genosida yang berlanjut hingga sekarang mungkin ada yang berpendapat sebagai takdir. Kalau disepakati sebagai takdir, semoga ini adalah luapan pendapat putus asa. Bagi penulis, fakta (kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan) kalangan tradisionalis bukan takdir Allah. Namun, takdir yang dibuat manusia secara sistematis melalui politik—penghacuran—genosida yang sebenarnya bisa dilawan. Dan, NU bangkit betulan!
Penulis adalah Kepala Divisi Diklat Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua