Obituari

Zainaldi Zainal Asjikin, Subhan ZE, dan Lembaga Sejarah NU

Rab, 29 November 2023 | 07:00 WIB

Zainaldi Zainal Asjikin, Subhan ZE, dan Lembaga Sejarah NU

Zainaldi Zainal Asjikin. (Foto: istimewa)

Beberapa hari lalu, NU Jawa Barat kehilangan salah seorang kader terbaiknya, Zainaldi Zainal Asjikin. Saat mengembuskan napas terakhir, ia tercatat sebagai salah seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat. 


Sedari remaja aktif di Pelajar NU, dinobatkan sebagai Ketua Cabang IPNU termuda pada 1968 oleh Ketua Umum IPNU Asnawi Latif pada pelatihan tingkat nasional di Lampung. Aktivitasnya dilanjutkan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bandung. 


Kemudian ia melanjutkan aktivitasnya menjadi politikus selama 27 tahun di Partai Persatuan Pembangunan dan 11 tahun di Partai Kebangkitan Bangsa. Sempat menjadi anggota DPRD tingkat II, kemudian tingkat I. Di akhir hayatnya ia pensiun dari partai mana pun.


Teladan Subhan ZE

Zainaldi Zainal Asjikin lahir di Karawang, 17 April 1951. Masa remajanya, akhir tahun 60-an, ia aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Karawang sebagai ketua. Pada masa itu, ia sering berkunjung ke rumah tokoh NU yang populer pada masanya, Subhan ZE di Menteng, Jakarta Pusat. Tepatnya di Jalan Banyumas nomor 4. 


Berdasarkan ceritanya kepada penulis pada 2016, Zainaldi pada usia 18 tahun kerap menyempatkan diri sowan ke Subhan ZE di rumah itu. Kadang dua minggu atau sebulan sekali. Ia biasanya pergi Sabtu sore ke Jakarta. Pulang ke Karawang Ahad sore. 


Pada tahun 1968, menurut Zainaldi, rumah Subhan adalah tempat nongkrongnya para aktivis baik muda maupun tua. Tempat parkirnya para intelektual dari segala kalangan. 


“Rame terus. Seperti pasar, yang datang itu bukan hanya orang NU,” katanya. 


Di rumah Subhan berkumpul orang-orang yang di kemudian hari menjadi tokoh nasional seperti Adnan Buyung Nasution, Cosmas Batubara, Mar’i Muhammad, Zamroni, Asnawi Latif, Tosari Wijaya, dan lain-lain. 


Ciri khas di rumah itu, setiap orang yang datang, harus makan. Wajib. Subhan akan marah jika ada tamunya tidak makan. Itu kemudian menjadi peraturan tak resmi bagi tamunya. Tak heran dapur rumah itu pun selalu mengepulkan asap setiap waktu. 


Suatu ketika Zainaldi bertanya tentang hal itu. 


“Kenapa setiap orang yang datang ke rumah Bapak harus makan terlebih dahulu sebelum ngobrol?” 


“Bodoh kamu! Tolol kamu!” jawab Subhan sambil tangannya mendorong jidat Zainal. 


“Orang yang lapar itu, kalau ngomong tidak akan bener!” terang Subhan. 


Peraturan tak resmi kedua, menurut Zainal, orang yang berkunjung tak boleh mengeluh karena tak punya ongkos pulang sebab Subhan akan tersinggung. 


“Jangan bilang tidak punya ongkos. Dia (Subhan) akan tersinggung karena tanpa diminta, pasti akan dikasih, karena beliau itu berbagi dengan semua orang,” ujarnya. 


Suatu ketika, Zainal dan salah seorang temannya, atas nama pengurus IPNU datang ke rumah itu. Ia menceritakan bahwa IPNU Karawang akan mengadakan kegiatan. 


“Jadi kegiatan itu tanggal berapa? Ini uang untuk kegiatan. Ini untuk sangu (ongkos) di jalan,” begitu kata Subhan. “Kamu saya kasih seperti itu (dengan dua uang terpisah) agar kamu tidak korupsi! Tidak korupsi!”


Menurut Zainal, pelajaran yang sangat personal dari seorang senior kepada junior seperti itu sangat membekas dalam ingatannya. Sesuatu yang saat ini makin langka antara senior dan junior di kalangan NU. Senior seolah tak tersentuh. Sementara junior tak cukup berani. 


Bayangkan, kata Zainal, Subhan ZE yang ahli debat soal ekonomi dengan argumentasinya yang kuat, kaya-raya dan flamboyan, tapi tak menutup diri untuk bertemu dengan seorang pelajar rendahan.


Subhan ZE yang tokoh teras di organisasi kiai, disegani pemerintah Orba, dikagumi kawan dan lawan. Namun masih ngemong kader IPNU tingkat cabang. 


Lembaga Sejarah NU

Zainaldi Zainal Asjikin merupakan salah seorang aktivis NU yang memiliki minat terhadap sejarah Indonesia dan NU. Ia memiliki ribuan tersimpan di perpustakaan pribadi di kediamannya, Antapani, Kota Bandung. 


Buku itu tak hanya pajangan, tapi dikunyah-kunyah, direfleksikan, ditatukan dengan pengalaman pribadinya, kemudian dituangkan dalam tulisan-tulisan pendek yang bernuansa sejarah. 


Ia kerap menulis fragmen pendek tentang sejarah orang atau peristiwa yang ada sangkut-pautnya dengan situasi saat ini. Kemudian fragmen pendek itu dikirimkannya ke grup-grup WhatsApp atau secara japri kepada orang yang menurutnya relevan. Di akhir tulisan, ia biasanya mencantumkan namanya yang ditandai dengan dalam kurung. 


Saya adalah salah seorang yang kerap dikirimi fragmen-fragmen pendeknya. Di antara fragmen yang dikirimnya tentang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membuka hubungan dengan Israel. Dalam pandangannya, apa yang dilakukan Gus Dur justru untuk membela Palestina. 


Berikut saya kutip tulisan di paragraf terakhirnya:


“Mendukung Palestina tidak cukup hanya dengan mencaci maki Israel. Mendukung Palestina juga harus dilakukan dengan cara dialog dengan pihak Israel. Jalan nya bisa berbelit? Mungkin iya. Tapi itu kan proses dan kita harus bersabar mengikuti seluruh proses yang pasti panjang itu yang mungkin saja tidak selesai pada generasi kita. Dan Gus Dur telah menjadi pionir untuk proses itu.” (Zainaldi Zainal)


Menurut salah seorang sejawatnya di PWNU Jawa Barat, Kurnia P. Kusumah, Zainaldi Zainal memiliki koleksi sekitar 3.000 buku yang tersimpan di kediamannya di Antapani, Kota Bandung. 


“Di antara buku-bukunya, yang paling banyak adalah tentang sejarah. Untuk PKI saja, Kang Zainaldi memiliki sekitar 200 literatur,” ungkapnya di kantor PWNU Jawa Barat, Selasa (28/11/2023).


Kecintaannya terhadap sejarah, kata pria yang akrab disapa Kang Udeng ini, Zainaldi Zainal sering membicarakan dan mengusulkan agar NU memiliki lembaga khusus yang menangani sejarah.


“Terakhir, amanat ke saya, agar PWNU Jawa Barat menyampaikan ke PBNU untuk membentuk lembaga sejarah,” katanya.


Lembaga tersebut, kata Kang Udeng, bertujuan untuk meneliti dan menulis sejarah tentang NU dari masa ke masa, baik tingkat nasional, maupun lokal.


“Sejarah NU sering ditulis orang. Kalau ditulis orang kadang selalu ada bias. Lembaga sejarah itu bisa memverifikasi atau meluruskannya,” ungkapnya. “Itu amanat dari pertemuan terakhir saya dengan dia 6 bulan sebelum meninggal,” tambahnya.