Obituari

Pak Jakob Oetama yang Saya Kenal

Rab, 9 September 2020 | 16:30 WIB

Pak Jakob Oetama yang Saya Kenal

Jakob Oetama. (Foto: Arsip Kompas)

“Anda lulusan Sastra Arab, ya” kata Jakob Oetama, sembari menengok ke kanan, di tempat saya duduk. Saya mengangguk. “Tolong dijaga ya, jangan sampai hilang”. Waktu itu bulan Maret 2001, dan Pak Jakob sebagai Pemimpin Umum Harian Kompas berkenan menyambut kami, 12 wartawan baru koran Kompas di ruang diklat lantai lima Gedung Kompas Gramedia Jalan Palmerah Selatan. 


Saya jelas tidak mungkin melupakan sorot mata Pak JO, dari menatap ke depan lalu menengok ke kanan. Kaget juga. Saya sudah banyak melupakan ilmu yang saya pelajari semasa kuliah sejak lulus tahun 1999, karena jarang dipakai. 


Saya tentu akan mengingatnya jika membuka-buka kembali buku-buku lama, tapi kapan waktunya? Dan, seiring berjalannya waktu, menjadi wartawan itu harus siap menempati “desk” apa pun, meliput bidang apa pun, dan belajar lagi hal-hal baru dengan cepat. Bahkan teman seangkatan yang lulusan ITB pun meliput pemilihan umum di desk politik. Semua wartawan harus siap dan tidak boleh berhenti belajar. 


Sebagai wartawan yang masuk ke Kompas ketika media itu sudah besar dan jumlah wartawan cukup banyak, saya tidak mungkin berharap Pak JO bisa mengenali nama saya. Saya kerap mendengarkan cerita-cerita wartawan zaman dulu, tahun 70-an atau yang lebih baru 80-an, tentang betapa suasana kekeluargaan itu terasa sangat kental dan pekat di kantor. Bahkan para karyawan lebih nyaman berada di kantor, tidur pula, daripada di kos.


“Zaman dulu gaji langsung diberikan oleh Pak JO, tunai. Kadang amplopnya bisa lebih tebal, karena ditambahi. Kadang kami saling lirik, amplop siapa yang lebih tebal,” kata Mas Jimmy S Haryanto atau biasa disapa Pak Bo, pensiunan wartawan Kompas


Memang, ketika jumlah karyawan masih sedikit, pemimpin bisa mengenali mereka semua, termasuk hapal nama-namanya.  Keseriusan kerja juga lebih terpantau, tanpa harus mengisi semacam lembar “evaluasi kerja”. Pak JO -- kata para wartawan zadul yang kini sudah pensiun atau meninggal dunia-- tahu betul tabiat atau perilaku karyawan-karyawannya. Ia sering “diam-diam” memberi apresiasi terhadap karyawan yang berprestasi. Kalau wartawan, parameternya bisa beragam, terserah Pak JO, bisa karena kerja kerasnya, karena bagus tulisannya, atau perilaku jujurnya.


Tentu saja pengalaman personal saya dengan Pak JO lebih kepada seorang “wartawan kemarin sore”  yang berguru pada suhu dan juga bos yang menggaji saban bulan. Banyak kalimat-kalimatnya yang tidak hanya mencerahkan namun juga menyadarkan.


Suatu hari dalam satu pertemuan dengan wartawan muda dan wartawan baru, Pak JO mengatakan, bekerja di bisnis media tidak bisa membuat kita kaya, namun cukup. Sering kita mendengar kalimat, “Jangan berharap kaya kalau jadi wartawan”. Pak JO mengatakan hal senada namun dengan kalimat yang berbeda. Cukup, itu sudah cukup.


Kata cukup itu bagi saya sangatlah bermakna.  Kata “cukup” itu mengingatkan saya pada Hadis Nabi 


رَوَي التِّرْمِذِيُّ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِ


Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik al-Anshari radhiallahu anhu, beliau berkata: Rasul saw. bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya” (HR al-Tirmidzi).


Banyak kutipan Pak JO yang menyuarakan soal kemanusiaan dan kebercukupan, baik saya dengar sendiri, mendengar dari teman lain, atau dalam tulisannya. Kalimat Pak JO seperti “Bekerja bukan hanya bertujuan mencari nafkah saja, tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhan, kepada sesama manusia, kepada masyarakat, bangsa, dan negara” sudah sangat masyhur dan kerap dikutip.


“Wartawan itu tidak hanya bekerja namun menyuarakan kemanusiaan”, kalimat itu juga sangat menyemangati kami. Kalimat yang paling sering kami tirukan sampai dibikin bahan candaan:  “Kerja adalah ibadah”. Kami sering bercanda ketika telat salat maghrib, misalnya, lalu kami beralasan, “Lho kita sudah bekerja seharian ini, sudah sama dengan ibadah, melebihi shalat maghrib”. 

 

Susi Ivvaty, Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas.