Nikah/Keluarga

Apakah Mengulang Akad Nikah Batalkan Akad Sebelumnya?

Kam, 20 April 2017 | 02:30 WIB

Apakah Mengulang Akad Nikah Batalkan Akad Sebelumnya?

Mengulang akad nikah apakah berdampak pada keabsahan akad nikah sebelumnya?

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengamanatkan agar perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia dicatatkan. Mereka yang beragama Islam mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan dan mereka yang beragama selain Islam mencatatkan perkawinannya di Kantor Pencatatan Sipil.

Bagi warga negara yang beragama Islam khususnya dalam praktik pencatatan perkawinannya tidak jarang ditemukan permasalahan administratif yang dirasa berseberangan dengan hukum fiqih yang mereka pahami dan yakini kebenarannya.

Sebagai contoh adalah seperti yang baru-baru ini terjadi di Kota Tegal. Sepasang calon pengantin telah mendaftarkan diri di KUA untuk melaksanakan perkawinan pada tanggal yang telah ditentukan. Pada saat pemeriksaan calon pengantin bersama pegawai KUA disepakati akad nikah akan dilaksanakan pada hari, tanggal, dan jam sesuai kesepakatan. Maka pada waktu tersebut penghulu yang bertugas datang ke rumah pengantin perempuan untuk menyaksikan dan mencatat perkawinan tersebut.

Namun sebelum pelaksanaan ijab qabul pihak keluarga memberitahu penghulu bahwa sesungguhnya kedua mempelai telah melaksanakan akad nikah sejak dua bulan yang lalu dan meminta untuk tidak dinikahkan lagi. Mereka beranggapan bahwa bila dinikahkan lagi maka itu berarti menganggap akad yang pertama tidak sah dan berarti pula hubungan biologis suami istri yang selama dua bulan dilakukan adalah hubungan yang haram. Anggapan ini bukannya tanpa dasar. Menurut pengakuannya apa yang mereka yakini adalah hasil berkonsultasi kepada seorang ustadz. Mereka meminta untuk diberi buku nikah saja tanpa ada proses ijab kabul ulang.

Sementara itu penghulu yang bertugas bersikeras bahwa untuk bisa diberikannya buku nikah maka petugas dari KUA harus menyaksikan proses akad nikah. Bila tidak maka buku nikah tidak bisa diberikan.

Lalu bagaimanakah pandangan hukum fiqih terhadap kasus di atas? Benarkah mengakadkan kembali sebuah perkawinan bisa membatalkan akad yang telah terjadi sebelumnya?

Imam al-Bukhari di dalam kitab shahihnya meriwayatkan sebuah hadits:
 

حَدَّثَنا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ، قَالَ: وَفِي الثَّانِي


“Abu ‘Ashim bercerita kepada kami dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah ia berkata, “Nabi membaiat kami di bawah sebuah pohon. Beliau berkata kepada, “Ya, Salamah, tidakkah engkau ikut berbaiat?” Aku menjawab, “Aku telah berbaiat di yang pertama ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yang kedua.”

Dalam menjelaskan hadits tersebut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengutip perkataan Ibnul Munir yang menyatakan bahwa dari hadits tersebut dapat diambil satu kesimpulan bahwa mengulangi akad dalam pernikahan dan perkara lainnya tidaklah merusak akad yang pertama, berbeda dengan pendapat ulama yang berpendapat sebaliknya dari golongan Syafi’iyah.

Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa yang shahih di kalangan Syafi’iyah adalah pengulangan akad itu tidak merusak sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur ulama.

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa pengulangan akad nikah untuk kepentingan legalitas administrasi tidak merusak keabsahan akad nikah yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana dipersoalkan pada contoh kasus di atas. (Yazid Muttaqin)