Mengenal Kafa'ah, Konsep Kesetaraaan dalam Pernikahan
NU Online · Rabu, 20 Desember 2017 | 20:00 WIB
Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istrinya. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43:
“Al-kafa`ah. Yang dimaksud dengan al-kafa`ah ialah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri.
Dalam syariat Islam, kafa`ah diberlakukan sebagai sesuatu yang “dipertimbangkan” dalam nikah, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 47:
“Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.
Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa kafa`ah merupakan hak bagi calon istri dan wali. Artinya mereka berdua berhak membatalkan rencana pernikahan jika terbukti bahwa calon suami tidak setara dengan calon istri. Meski demikian, jika atas pertimbangan tertentu ternyata calon istri atau wali menerima dengan kondisi calon suami yang ternyata lebih rendah derajatnya, maka pernikahan tetap sah diberlangsungkan.
Kondisi-kondisi apa saja yang dipertimbangkan dalam persoalan kafa`ah, bisa kita simak dalam penjelasan Imam Nawawi al-Bantani pada kitab Nihayatuz Zain (Beirut: Dar al-Fikr, 1316 H), hal. 311:
“Pertama, sifat merdeka (bukan budak) dalam diri calon suami dan ayahnya; kedua, terjaga agamanya; ketiga nasab; keempat pekerjaan; kelima, terbebasnya suami dari aib nikah.”
Konsekuensi dari pemaparan di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, membuat seorang lelaki budak tidak kafa`ah bagi perempuan merdeka, wanita keturunan bani Hasyim dan bani Muthalib bukan kafa`ah bagi selainnya, lelaki fasiq tidak kafa`ah bagi wanita salehah, lelaki keturunan pedagang tidak kafa`ah bagi putri seorang ulama ahli fiqih, dan seterusnya.
Tujuan pemberlakukan soalan kafa`ah ini bukanlah bertujuan membeda-bedakan Muslim yang satu dengan lainnya, namun demi menjaga calon istri dan keluarganya dari “rasa malu”. Memang, di hadapan Allah, manusia paling mulia adalah yang bertakwa, namun karena pernikahan ini selain dilihat dari sisi ibadah, juga harus dilihat dari sisi sosial kemanusiaan.
Sebagai contoh, akan sangat menyulitkan bagi suami yang berprofesi pedagang asongan untuk memenuhi nafkah yang dibutuhkan oleh seorang istri yang merupakan keturunan milyarder. Meskipun jika istri yang keturunan milyarder tersebut rela dan ikhlas, maka pernikahan tetap bisa sah. Demikianlah yang dimaksudkan bahwa kafa`ah menjadi pertimbangan dalam pernikahan, namun bukan bagian dari syarat yang membuat pernikahan sah. Wallahu a’lam bish shawab.
(Muhammad Ibnu Sahroji)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua