Masa Iddah bagi Laki-laki: Memangnya Ada?
NU Online · Senin, 21 Juli 2025 | 20:00 WIB
Muhammad Zainul Mujahid
Kolomnis
Setiap perpisahan dalam kehidupan rumah tangga, baik karena perceraian maupun kematian, selalu meninggalkan jejak yang mendalam. Dalam Islam, perpisahan bukanlah akhir semata, melainkan juga fase transisi yang penuh hikmah dan keteraturan. Di sinilah syariat menetapkan aturan penting khusus bagi perempuan berupa kewajiban menjalani iddah, yakni masa tunggu sebelum diperbolehkan menikah kembali.
Syeikh Zakariya al-Anshari dalam kitabnya menjelaskan definisi iddah sebagai berikut:
وَهِيَ مُدَّةٌ تَتَرَبَّصُ فِيهَا الْمَرْأَةُ لِمَعْرِفَةِ بَرَاءَةِ رَحِمِهَا أَوْ لِلتَّعَبُّدِ أَوْ لِتَفَجُّعِهَا عَلَى زَوْجٍ
Artinya, “Iddah adalah masa penantian seorang perempuan dengan tujuan memastikan kebersihan rahimnya (dari kehamilannya), sebagai bentuk ketundukan kepada syariat, atau sebagai wujud berkabung atas kematian suaminya,” (Fathul Wahhab, [Indonesia, Al-Haramain, t.th.], juz II, hal. 103)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa iddah merupakan periode khusus yang wajib dijalani seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya, baik karena ditinggal wafat suaminya maupun perceraian. Tujuan utamanya adalah memastikan tidak adanya kehamilannya dari suami sebelumnya. Oleh karena itu, selama masa iddah tersebut, perempuan tidak diperkenankan menikah atau bahkan menerima lamaran dari laki-laki lain.
Meski bagi sebagian orang aturan iddah ini mungkin terkesan sebagai pembatasan atau ketimpangan terhadap perempuan, sejatinya iddah adalah bentuk perlindungan serta penghormatan Islam terhadap perempuan. Di balik kewajiban ini, tersimpan hikmah mendalam yang menyentuh aspek biologis, sosial, maupun emosional perempuan.
Dalam Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsfatuhu, Syaikh al-Jurjawi memaparkan panjang lebar terkait hikmah di balik eksistensi syariat iddah bagi perempuan:
والحكمة في العدة ترجع الى امور منها العلم ببراءة الرحم وطهارته حتى لا يجتمع ماء الواطئين في رحم واحد فتختلط الانساب وفي ذلك من الضرر ما لا يخفى ولا ترضاه الشريعة السمحة ولا يقبله العقل السليم و منها اظهار احترام العقد وتعظيمه ومنها تطويل زمان الرجعة للمطلق طلقة رجعية إذ ربما أناب الى رشده وندم على الطلاق فيجد له من الوقت متسعا يتمكن فيه من الرجعة ومنها تعظيم احترام حق الزوج إذا كان متوفيا عنها فتظهر الاسف على فقده وذلك لا يكون الا بالعدة ومنها الاحتياط لحق الزوج الثاني حتى يكون على بينة من الامر وبصيرة تامة. وهكذا من الحكم الجليلة
Di antara hikmah disyariatkannya iddah adalah sebagai berikut:
- Memastikan kebersihan rahim perempuan dari kemungkinan kehamilannya, sehingga tidak terjadi pencampuran nasab akibat percampuran sperma dua laki-laki dalam satu rahim. Sebab, pencampuran nasab akan menyebabkan kemudaratan besar yang jelas bertentangan dengan syariat dan akal sehat.
- Menunjukkan penghormatan Islam terhadap ikatan perkawinan yang pernah terjalin.
- Memberikan waktu kepada suami yang menceraikan istrinya dengan talak raj‘i (cerai yang masih bisa dirujuk), agar ia memiliki kesempatan untuk berpikir ulang, sehingga memungkinkan terjadinya rujuk.
- Sebagai bentuk penghormatan terhadap hak suami yang wafat, dengan menunjukkan rasa duka yang mendalam atas kehilangannya, yang diwujudkan melalui masa berkabung selama menjalani iddah.
- Sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga hak suami berikutnya, agar ia benar-benar yakin terhadap kondisi perempuan yang dinikahinya, terutama terkait kehamilan dan nasab anak-anaknya kelak.
Demikianlah beberapa hikmah yang sangat mulia dari ketetapan iddah ini (Lihat karya Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, [Beirut, Darul Fikr, 1997], juz II, hal. 54).
Iddah bagi Laki-Laki, Mungkinkah?
Pada dasarnya, iddah memang hanya diwajibkan bagi perempuan, sebab tujuan utamanya adalah memastikan rahim bersih dari kemungkinan kehamilan akibat pernikahan sebelumnya demi menjaga kejelasan nasab. Dengan demikian, iddah dalam Islam hakikatnya merupakan bentuk perlindungan dan tanggung jawab sosial terhadap perempuan, bukan sebagai bentuk pembatasan kebebasan atau diskriminasi.
Meski secara umum iddah merupakan kewajiban khusus bagi perempuan, ada kondisi tertentu di mana laki-laki juga harus menjalani “iddah” dalam arti khusus. Dalam kitab I‘anatut Thalibin dijelaskan bahwa ada dua keadaan ketika seorang laki-laki diwajibkan menunggu selesainya masa iddah mantan istrinya sebelum menikah lagi:
فلا عدة عليه قالوا إلا في حالتين الأولى ما إذا كان معه امرأة وطلقها رجعيا وأراد التزوج بمن لا يجوز جمعها معها كأختها الثانية ما إذا كان معه أربع زوجات وطلق واحدة منهن رجعيا وأراد التزوج بخامسة فلا يجوز له ذلك في الحالتين المذكورتين إلا بعد انقضاء العدة
Artinya, “Seorang laki-laki pada dasarnya tidak wajib menjalani iddah, kecuali dalam dua keadaan: Pertama, ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj‘i, lalu ingin menikah dengan perempuan yang tidak boleh dikumpulkan bersamanya dalam satu ikatan pernikahaan, seperti saudari mantan istrinya. Kedua, ketika laki-laki memiliki empat istri, lalu menceraikan salah satunya dengan talak raj‘i dan ingin menikahi perempuan lain. Dalam dua kondisi ini, laki-laki tersebut tidak diperkenankan menikah kembali sampai berakhirnya masa iddah mantan istrinya,” (Sayyid al-Bakri bin Muhammad Syahta Dimyathi, I‘anatut Thalibin, [Indonesia, Al-Haramain, t.th.], juz IV, hal. 37)
Meski dalam dua kondisi tersebut laki-laki diwajibkan menunggu selesainya masa iddah istrinya sebelum menikah lagi, secara prinsip hal ini tidaklah sama dengan iddah yang dijalani perempuan. Sebab, ada faktor hukum lain yang menjadi alasan utama penghalangnya.
Dalam kondisi talak raj‘i, perempuan yang sedang menjalani iddah secara syar‘i masih berstatus sebagai istri, sehingga suaminya dilarang menikah dengan perempuan yang haram disatukan dengannya dalam satu pernikahan, seperti saudari perempuan tersebut, bibi dari pihak ibu maupun ayah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis berikut:
{وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ}
Artinya, “Dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa lampau.” (QS. An-Nisa’: 23)
لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلَا الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلَا الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا (رواه النسائي)
Artinya, “Seorang perempuan tidak boleh dinikahi bersamaan dengan bibi dari pihak ayahnya, demikian pula sebaliknya; perempuan tidak boleh dinikahi bersamaan dengan bibi dari pihak ibunya, demikian pula sebaliknya,” (HR. An-Nasa’i)
Begitu pula dalam kasus laki-laki yang telah memiliki empat istri lalu menceraikan salah satunya dengan talak raj‘i, ia tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddah mantan istrinya selesai. Sebab, jika dia menikah lagi sebelum berakhirnya iddah, secara otomatis ia akan memiliki lebih dari empat istri sekaligus, sesuatu yang dilarang dalam syariat.
Ketentuan Iddah laki-laki di Indonesia
Dalam konteks hukum pernikahan di Indonesia, ketentuan mengenai iddah tidak hanya diperuntukkan bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi laki-laki, terutama dalam hal pelaksanaan pencatatan nikah setelah perceraian. Hal ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 tentang Pernikahan dalam Masa Idah Istri. Surat edaran ini merupakan pembaruan atas regulasi sebelumnya yang dianggap tidak lagi efektif dalam mengatur praktik poligami terselubung dalam masa iddah.
Surat edaran tersebut diterbitkan dengan maksud memberikan pedoman teknis pencatatan nikah bagi laki-laki yang telah bercerai namun hendak menikah lagi dengan perempuan lain. Tujuan utamanya adalah menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan hak rujuk selama masa iddah istri yang belum selesai. Dalam hal ini, ruang lingkup surat edaran tersebut secara spesifik menyasar pernikahan laki-laki yang berstatus duda cerai hidup dan masih berada dalam masa iddah istri sebelumnya.
Adapun ketentuan-ketentuan dalam surat edaran tersebut disampaikan dalam beberapa poin penting:
-
Pencatatan pernikahan hanya dapat dilakukan apabila pihak laki-laki dan perempuan telah resmi bercerai, dibuktikan dengan akta cerai dari pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
-
Masa iddah istri dipandang sebagai masa refleksi bagi kedua pihak untuk mempertimbangkan kemungkinan rujuk dan membangun kembali rumah tangga.
-
Laki-laki bekas suami hanya boleh menikah dengan perempuan lain setelah masa iddah istrinya selesai.
-
Jika laki-laki menikahi perempuan lain dalam masa iddah, sementara ia masih memiliki hak untuk merujuk istrinya, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan praktik poligami terselubung.
-
Bila pernikahan itu tetap dilakukan, maka ia hanya dapat merujuk istri sebelumnya setelah memperoleh izin poligami dari pengadilan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, tampak bahwa meskipun masa iddah secara langsung merupakan kewajiban syar’i bagi perempuan, secara administratif dan hukum, laki-laki pun turut terikat padanya. Dalam hal ini, laki-laki tidak dapat begitu saja melangsungkan pernikahan baru selama bekas istrinya masih dalam masa iddah, kecuali dengan memperhatikan konsekuensi hukum seperti izin poligami dari pengadilan jika ingin merujuk kembali.
Dengan demikian, iddah bagi suami tidak bersifat fisik-biologis sebagaimana pada istri, namun ia menanggung implikasi administratif dan hukum demi menghindari praktik pernikahan yang tidak etis atau manipulatif di mata hukum agama maupun negara. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua