Nasional SERTIFIKASI HALAL (4)

YLKI: Regulasi Jaminan Halal harus Ditata Ulang

NU Online  ·  Kamis, 10 April 2014 | 20:01 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendorong penataan ulang sistem sertifikasi halal guna memperkuat perlindungan kepada konsumen untuk mendapatkan jaminan produk halal. 
<>
Saat ini sudah ada UU Perlindungan Konsumen yang menjamin perlindungan terhadap konsumen Muslim, tetapi belum dibuat secara detail dengan jaminan produk halal sehingga pemerintah mengusulkan RUU Jaminan Produk Halal.

Pihak yang paling berkompeten mengelola sertifikasi halal menurutnya adalah pemerintah. Keberadaan MUI, yang merupakan lembaga swasta yang pengelola sertifikasi halal tidak memiliki kewenangan sebesar yang dimiliki oleh pemerintah. Pengelolaan ini juga harus sinkron dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang sekarang sedang dalam pembahasan di DPR. Dengan demikian, seluruh sistem pengelolaan sertifikasi halal harus ditata ulang menyesuaikan dengan RUU ini.

“Tetapi bukan berarti lembaga yang sudah ada dilebur saja, melainkan harus diperkuat,” jelasnya ketika dihubungi per telepon, Kamis (3/4).

Hal yang sangat penting dari lembaga sertifikasi halal tersebut adalah terakreditasi. Di Indonesia, lembaga yang memberikan akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) bahwa lembaga tersebut memiliki kompetensi, transparan, efektif, koheren dan mampu bersikap independen. 

Seperti pengelolaan Standar Nasional Indonesia (SNI), RUU JPH bisa mengadopsi pemisahan antara regulator dan operator. Kementarian Agama sebagai pihak pemerintah harus memilih salah satu antara fungsi regulator dan operator, tidak bisa dua-duanya.

Jika fungsi regulator dipegang oleh Kemenag, maka fungsi operator bisa dilakukan oleh beberapa lembaga yang memiliki kapasitas, seperti memiliki umat.

“Legitimasi umat harus diperhatikan, jangan sampai apa yang difatwakan nanti tidak didengar oleh umat,” tandasnya.

Selanjutnya, regulator harus membuat panduan dan standardisasi lembaga sertifikasi halal yang disepakati bersama agar nantinya tidak ada versi halal yang berbeda-beda antara lembaga satu dengan yang lainnya yang pada akhirnya membuat bingung masyarakat.

Tulus berpendapat, kemampuan MUI saat ini masih terbatas untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga ia sepakat jika sertifikasi halal bisa dilakukan oleh ormas Islam yang memiliki kapasitas.

Untuk pengusaha di tingkat pusat tidak masalah karena lokasinya mudah dijangkau, tetapi jika lokasinya jauh seperti di Maluku atau di Papua, biaya sertifikasinya akan menjadi mahal karena harus mendatangkan orang dari jauh sehingga biaya transportasi dan akomodasinya harus ditanggung perusahaan yang meminta sertifikasi. Hanya perusahaan besar yang mampu meminta sertifikasi halal.

“Kalau biaya sertifikasinya bisa murah, tetapi biaya lain-lainnya ini yang menjadi mahal dan ini akhirnya harus ditanggung oleh konsumen,” jelasnya.

Ormas Islam yang memiliki struktur organisasi sampai ke tingkat akar rumput potensi membantu mengembangkan pelayanan sertifikasi halal ini. (mukafi niam)