Surabaya, NU Online
Untuk menjaga keutuhan suatu bangsa dan negara, prinsip mendahulukan cinta tanah air di atas segalanya harus menjadi pegangan.
Demikian dikatakan oleh Wakil Katib PWNU Jawa Tengah, KH Nasrulloh Afandi dalam seminar nasional yang digelar oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadits Indonesia (FKMTHI) Rabu (20/3) di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur.
Gus Nasrul, sapaan akrabnya menegaskan, jika mengamati gagasan kebangsaan Kiai Wahab Hasbullah sang inisiator pendiri NU terdapat tiga gagasan kebangsaan yang masih eksis relevan hingga saat ini. Tiga gagasan tersebut juga berfungsi dan terbukti mampu menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa dan negara.
"Tiga gagasan tersebut yaitu nasionalisme, intelektualitas, dan kemapanan ekonomi," tutut Doktor Maqashid Syariah Cumm Laude Universita al-Qurawiyin Maroko itu.
Esensi tiga gagasan perjuangan tersebut, lanjut Gus Nasrul, adalah pilar-pilar penopang kebangkitan dan keutuhan bangsadan negara di mana pun juga. Pasalnya, tanpa nasionalisme orang akan mudah mencaci-maki atau menghujat pemerintahan yang syah.
"Tanpa nasionalisme akan kehilangan arah, tak tahu akan ke mana arah perjuangan dalam bernegara. Tanpa nasionalisme juga, orang akan dengan mudah meninggalkan cita-cita kebangsaannya. Nasionalisme-lah pondasi utama berdirinya sebuah cita-cita besar suatu bangsa," papar mubaligh yang sedang naik daun itu.
Menurut Gus Nasrul, betapa banyak negara yang dipadati dengan orang-orang berpendidikan tinggi, tapi hacur berkeping-keping. Hal itu tidak lain disebabkan minimnya warga negara memiliki nasionalisme dan cinta tanah airnya.
Oleh karena itu, kiai muda yang juga pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU itu menegaskan gagasan nasionalisme, Mbah Wahab pada saat itu tidak hanya sekadar retorika belaka. Akan tetapi, lebih jauh gagasan itu diwujudkan langsung di tengah dinamika masyarakat, dengan membesut organisasi Nahdlatul Wathan yang beliau dirikan pada tahun 1916.
Kiai muda Pesantren Balekambang Jepara itu menambahkan gagasan berikutnya dari Mbah Wahab terkait intelektualitas. Hal itu diwujudkan dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar atau dikenal dengan Nahdlatul Fikri (kebangkitan berfikir) pada tahun 1918.
Tashwirul Afkar dibentuk sebagai wahana pendidikan sosial politik sekaligus upaya untuk menumbuh kembangkan intelektualitas masyarakat khususnya santri guna menghadapi problematika umat yang tengah terjadi di ruang publik.
"Ini tak kalah penting, karena semangat yang menggebu-gebu, hanya bagaikan fisik yang loyo tanpa 'daya tahan' jika kesemangatan itu tidak didukung dengan adanya intelektualitas yag memadai," tutur pria yag juga jajaran khatib Masjid Agung Jawa Tengah itu.
Selain itu dikatakan suatu negara tak bisa maju hanya dengan semangat saja. Nasionalisme tanpa pendidikan memadai, bagaikan 'pekerja kasar', yang hanya mengadalkan kekuatan fisik dan mendapat keuntungah murah. "Atau hanya akan di bodohi tanpa sadar," tuturnya.
Di bidang ekonomi kerakyatan, landasan Kiai Wahab ditandai dengan didirikanya Nahdlatut Tujjar taau Kebangkitan Para Pedagang. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari setiap perjuangan, krena suatu bangsa tidak mungkin hanya memiliki 'kendaraan' tanpa mempunyai bahan 'bakar'. Bahan bakar bagi mesin penggerak itu adalah perputaran ekonomi yang maju dan teratur.
"Sejatinya gagasan tersebut sangat eksis relevan semenjak masa kolinial hingga saat ini, dan perlu dilestarika serta dikembangkan," tegas dosen Ushul Fikih Ma’had Aly Jepara itu. (Arul/Kendi Setiawan)