Jakarta, NU Online
Duta Pencak Silat NU Pagar Nusa, Sabrang Mowo Damar Panuluh membeberkan alasan berita hoaks cepat tersebar. Hal itu banyak orang yang menggoreng sebuah isu dengan berbagai, sehingga menimbulkan keributan di media sosial.
"Jangankan di Indonesia, ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika saja ada sekitar 700 ribu yang menciptakan dan menggoreng sebuah isu," katanya saat menjadi narasumber pada Istighotsah dan Diskusi Politik dan Cyber Menuju Medsosul Karimah, di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Selasa (6/3).
Menurutnya ada banyak cara dilakukan untuk penyebaran isu.
"Karena ribut di media sosial itu sama dengan gosip (berita buruk)," kata vokalis grup band Letto itu.
Berita buruk itu, lanjutnya, sangat cepat tersebar. Akan tetapi berita soal klarifikasi tidak terlalu massif diberitakan.
"Contoh, berita seorang gadis desa yang berhubungan mesra dengan kekasihnya, akan sangat cepat didengar oleh orang-orang satu desa, bahkan lebih cepat dari cahaya," katanya disambut tawa hadirin.
Kemudian, putra dari Emha Ainun Najib itu mengungkapkan bahwa dalam teks tidak terdapat intonasi sebagaimana orang berkomunikasi secara verbal. Dari situ, kemampuan manusia diuji untuk bisa bersikap dewasa dan mampu memfilter teks atas isu yang sedang berkembang.
"Kalau ada prasmanan, tentu Anda tidak akan mengambil semua makanan yang ada. Anda pasti memilih sebagian yang anda suka, atau yang menurut anda sehat. Kalau anak kecil, pasti akan memilih makanan yang ia suka. Tapi kalau sudah tua, akan mengambil makanan yang sehat," katanya.
Analogi di atas dijadikan permisalan dalam menyikapi berita atau status yang berseliweran di medsos. Seseorang, siapa pun, harus punya sikap untuk memilih. Metode komunikasi mesti diperhatikan sebagai bagian dari salah satu cara menghadapi medsos.
"Contoh lagi, misal ada ribut di pinggir jalan antara tukang becak dengan seorang menteri membahas soal gaji UMR. Sebagai orang awam, kita akan membuat dan membangun opini bahwa tukang becak hebat karena bisa mendebat menteri. Soal kalah dan menang, itu tidak penting," katanya.
Maksudnya, Sabrang melanjutkan, saat seseorang di media sosial mendebat akun anonim, itu sama saja dengan mengangkat sebuah isu yang belum tentu benar menjadi naik ke permukaan atau viral.
"Maka, kedewasaan kita sebagai pengguna sangat diperlukan. Kita harus melihat dan mengkaji medsos dari berbagai sudut pandang. Cyber Army melawan Cyber Army sama dengan dalang melawan dalang. Dari sudut pandang kehancuran, keduanya pasti hancur," katanya.
Karenanya, harus ada mekanisme yang lebih tinggi. Sabrang menyebut, untuk menetralisir perseteruan di medsos dibutuhkan peran pawang. Yakni para pemangku kebijakan.
"Dengan bersikap dewasa dalam bermedsos, kita akan sama-sama menjaga NKRI dari kegaduhan," pungkasnya. (Aru Elgete/Kendi Setiawan)