Nasional

UU Pemilu Larang Politik Identitas, KPU: Jaga Rasionalitas dan Kewarasan

Sab, 2 September 2023 | 14:00 WIB

UU Pemilu Larang Politik Identitas, KPU: Jaga Rasionalitas dan Kewarasan

Forum Jumat Pertama Edisi Harlah Gus Dur diselenggarakan Gusdurian Jakarta di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/9/2023) malam. (Foto: Gusdurian)

Jakarta, NU Online
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menjelaskan tentang munculnya politik identitas pada Pemilu atau Pilpres 2024 mendatang. 


Ia menyebut, penggunaan politik identitas telah dilarang dalam pasal 280 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di situ diatur tentang pelaksanaan kampanye yang tak boleh menggunakan pendekatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).


Masyarakat Indonesia, kata Idham, pada umumnya memaknai politik identitas sebagai politisasi agama. Dengan demikian, politisasi agama adalah sesuatu yang dilarang oleh UU Pemilu. 


Namun, Idham menjelaskan, istilah politik identitas muncul pada era 1970-an di Amerika Serikat, ketika kelompok-kelompok minoritas melakukan gerakan untuk menuntut hak-hak politik mereka. 


"Tapi dalam perkembangan di Indonesia, politik identitas itu praktiknya adalah politisasi agama," jelas Idham dalam Forum Jumat Pertama Edisi Harlah Gus Dur yang diselenggarakan oleh Gusdurian Jakarta di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/9/2023) malam.


Jaga Rasionalitas
Di dalam diskusi bertajuk Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras di Zaman Edan itu, Idham meminta para komunikator politik untuk dapat menjaga rasionalitas dan tak mudah terprovokasi.


"Kita harus tetap menjaga rasionalitas kita agar kita tidak mudah terprovokasi, terjebak pada subjektivisme, pada hal-hal yang sekiranya membuat kita bukan menjadi makhluk rasional. Kewarasan ini satu keniscayaan yang harus kita miliki," tegasnya. 


Lebih lanjut, Idham menjelaskan bahwa ajang pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat. Singkatnya, tidak ada ada orang yang berdaulat tanpa kewarasan.


"Kita harus tetap waras, kita harus tetap menggunakan rasionalitas dalam kontestasi elektoral yang sepertinya dari tensinya sekarang sudah mulai agak menghangat, saya berharap tidak panas," jelas Doktor Komunikasi Politik jebolan Universitas Indonesia itu.


Belajar dari Pemilu 2019
Idham berharap, semua pihak di negeri ini dapat mengambil pelajaran penting dari perhelatan Pemilu 2019 lalu. Ia menyebut,  pengalaman adalah sumber pengetahuan.


"Para bijak di Timur mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Saya yakin, Pemilu serentak 2024, dari sisi partisipasi politiknya, dari sisi diskursus maupun komunikasi politiknya lebih baik, dimana etika lebih dikedepankan. Karena etika komunikasi politik adalah representasi dari peradaban," katanya. 


"Mari kita wujudkan pemilu yang etis, pemilu yang damai, harmonis, rasional demi Indonesia yang lebih maju," imbuh Idham.


Sebagai informasi, pada kesempatan itu hadir pula Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dan Putri Gus Dur Inaya Wulandari Wahid. Acara diskusi itu dimeriahkan pula oleh penampilan dari Grup Band Marjinal. Â