Nasional

Umat Islam Singapura Kekurangan Referensi Islam Moderat Berbahasa Inggris

NU Online  ·  Selasa, 17 Januari 2017 | 10:42 WIB

Jakarta, NU Online
Secara geografis, Negara Singapura masih termasuk ke dalam wilayah Nusantara yang dalam sejarah perkembangan Islam disebut sebagai al-Jawi. Namun, tak berbeda dengan sebagian negara-negara di dunia, umat Islam di Singapura masih beranggapan bahwa Islam adalah Arab.

Kondisi inilah yang sedikit banyak diungkapkan oleh aktivis Harmony Center Singapura, Mohammed Imran Taib saat berkunjung ke Kantor Pojok Gus Dur Gedung PBNU Jakarta, Jumat (13/1) lalu.

Imran yang didampingi oleh Direktur Pusat Studi Pesantren Achmad Ubaidillah dan beberapa mahasiswa National University of Singapore (NUS) sebelumnya berkunjung ke Kantor Redaksi NU Online dan diterima oleh Pemred NU Online Achmad Mukafi Niam dan Direktur Aswaja TV H Syaifullah Amin. Kemudian, diskusi berlanjut di Kantor Pojok Gus Dur.

Imran yang juga aktif mengampanyekan Islam damai dan sering mengadakan penelitian di Indonesia ini secara jelas mengatakan bahwa umat Islam di Singapura sangat kekurangan buku atau referensi berpaham Islam moderat dalam bahasa Inggris.

Ia mengakui, selama ini buku-buku Islam dalam bahasa Inggris didominasi oleh referensi berpaham Islam konservatif dan Wahabisme. Dampaknya, umat Islam di Singapura yang juga akar tradisinya semakin rapuh menjadi mudah terpengaruh.

“Mana buku-buku tentang Gus Dur dan Islam moderat lain. Saya pikir hal ini perlu diperhatikan Indonesia yang konsisten dengan corak Islam moderatnya,” harap Imran.

Pria berkacamata ini kagum dengan kehidupan keagamaan dan pengkajian ilmu keislaman di Indonesia yang begitu dinamis. Pasalnya, pengembangan Islam yang dikaji secara integral dengan berbagai disiplin ilmu masih terasa tabu di Singapura. Dampaknya, Islam yang berkembang cenderung kaku, akhirnya mudah disusupi paham Islam konservatif.

“Di Singapura masih menilai bahwa Islam di Indonesia tidak murni karena tercampur dengan tradisi dan budaya lokal. Kiblat terdekat justru Malaysia, sedangkan Malaysia sendiri mencapuradukkan antara agama dan negara sehingga kecenderungan ISIS juga terjadi di sana,” ungkap Imran.

Ia juga menyatakan bahwa umat Islam Indonesia yang sangat konsisten menjaga bahasa Indonesia dan identitas bangsa menjadi kekuatan tersendiri terhadap setiap paham transnasional yang masuk. Menurutnya, hal inilah yang tidak terdapat di antara generasi muda di Singapura.

“Anak-anak muda di Singapura gandrung dengan Bahasa Inggris sehingga mereka hampir lupa dengan bahasa mereka sendiri, bahasa Melayu. Mereka mudah memahami sebuah referensi dalam bahasa Inggris,” jelasnya.

Dia juga mengungkapkan, kajian Islam di Singapura yang berjalan selama ini hanya sebatas fiqih normatif saja. Belum menyentuh ke ranah substantif ketika menghadapi perkembangan pemikiran Islam yang begitu masif saat ini. Padahal fiqih di Indonesia sendiri dikaji secara dinamis, tidak statis seperti Konsep Fiqih Sosial yang dicetuskan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU periode 1999-2014.

Seperti di Indonesia, era keterbukaan teknologi digital lewat media sosial juga menjadi tantangan perkembangan pemikiran Islam di Singapura. Karena lewat jejaring dunia maya ini, paham Islam konservatif disebarkan secara masif.

Dalam kesempatan diskusi ringan ini, Pemred NU Online Mukafi Niam menjelaskan perkembangan dan dakwah NU Online di dunia maya. Sedangkan Syaifullah Amin memberikan beberapa penjelasan tentang jam’iyah dan jamaah NU beserta amaliah-amaliahnya.

Dalam beberapa bulan ke depan, Imran dan kawan-kawan akan kembali berkunjung ke Indonesia untuk terus belajar dan memperluas jaringan seperti yang dilakukannya beberapa tahun terakhir. 

Hal ini menjadi langkah penting agar Harmony Center yang bergerak dalam urusan kehidupan dan kerukunan umat beragama semakin kuat dalam upaya mewujudkan visi perdamaian dan persatuan di Singapura. (Fathoni)