Bandung, NU Online
Pengasuh Pesantren Al-Ittifaq Bandung, Jawa Barat, KH Fuad Affandi mengatakan, salah satu kekurangan bangsa ini adalah lemahnya pemikiran terhadap urusan kewargaan.
<>
"Pejabat, politisi, guru, dosen-dosen termasuk juga kiai kebanyakan belum beres dalam memahami hubungan kewargaan sehingga ketika negara berurusan dengan warga seringkali mengalami persoalan. Dan fatalnya lagi orang Indonesia itu kebanyakan umat Islam," tutur kiai yang bergerak di bidang social-entrepreneurship agribisnis karena mampu menyejahterakan kaum tani dengan koperasi dan pesantrennya ini kepada NU Online, Sabtu (14/2).
Fuad meletakkan pandangan kewargaan atau keumatan sebagai titik sentral karena apapun sistemnya, jika tidak beres pola-pikir dan laku kewargaannya, maka sulit berharap kehidupan bernegara menjadi baik. Menurutnya, konsep imamah (pemimpin) itu lahir dari ummah (rakyat/warga), karena itu ilmu pengetahuan tentang ke-ummah-an harus dipahami secara baik sebelum lari urusan daulah (negara).
"Jangan mentang-mentang melihat kebobrokan ini semata karena sistem kemudian berpikir sistem khilafah atau daulah Islamiyah bisa menyelesaikan persoalan. Itu tidak menjawab persoalan. Jawab dulu, apakah kita sudah benar dalam berwarga, sudah bener bermasyarakat?" tanyanya mengajak berpikir.
Ketidakberesan tersebut bisa dilihat dari banyaknya politisi yang tidak memiliki prestasi di masyarakat. Kebanyakan mereka berhasil menduduki jabatan bukan karena keberhasilan mempimpin warga, tapi karena membeli suara atau untung-untungan saat pemilu atau pilkada.
"Akibatnya setelah jadi pejabat mereka tidak merasa bertanggungjawab kepada warga. Ngaku NU, ngaku Muhammadiyah, ngakunya pejabat rakyat tapi maslahat politiknya balik ke keluarga, bukan ke warga," jelasnya.
Tragisnya, karena politisi itu sudah membayar saat pemilu, mereka merasa tidak perlu bertanggungjawab urusan warga. Ketidakjelasan ini menurut Fuad sampai tahap yang paling parah karena "Kalau keluarganya sudah makmur, juga tidak berusaha memakmurkan warga, membuat keluarga baru, alias kawin lagi," ujarnya tertawa.
"Kalau sekadar dukungan keluarga mah, itu pasti ujung-ujungnya wakil keluarga yang berjuang, maksudnya berjuang itu, tujuan beras, baju dan uang melalui lembaga negara," ujarnya berseloroh.
Sebenarnya menurut Fuad Affandi, untuk menjadi politisi tidak sulit selagi seseorang itu punya prestasi kepemimpinan di tengah-tengah warga sudah teruji. "Otomatis dirinya tidak mencalonkan diri pun akan didorong bahkan dibiayai oleh rakyat. Tapi sekarang makin sulit ya, karena sudah muncul tradisi beli suara," keluhnya. (Ferlita Hs/Mahbib)
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
4
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
5
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
6
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
Terkini
Lihat Semua