Tangerang Selatan, NU online
Ulil Abshar Abdalla berpendapat, untuk mencapai Hikmah harus melalui jalan syariah, yang dalam bahasa filsafat kontemporer disebut sebagai proses pendisiplinan.
“Hikmah merupakan hasil disiplin atau usaha yang dilakukan secara konsisten, kalau dalam bahasa tasawuf disebut dengan istiqamah, dan dilakukan dalam waktu yang cukup panjang,” kata Ulil Abshar Abdalla saat mengisi diskusi rutin yang diselenggarakan oleh Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (31/3).
Menurut Ulil, syariah tak lain adalah sebuah struktur. Seperti yang telah dijelaskan, ada dua struktur di dalam syariah. Pertama, struktur yang mencakup aspek luar manusia atau struktur lahir.
Struktur ini mencakup tindakan-tindakan seseorang dalam hubungannya dengan dunia luar, yang mana hal ini diatur dalam ilmu yang disebut sebagai ilmu muamalah.
“Ini merupakan pendisiplinan yang penting, tanpa melakukan pendisiplinan fisik, maka seseorang tak akan pernah bisa mencapai hikmah,” ucapnya.
Kedua, pendisiplinan dalam aspek batin. Aspek keduan ini merupakan struktur yang sangat penting dalam mengatur batiniyah seseorang, yang mana dari sinilah seorang Imam Al Ghazali menjadi orientasi moral etis bagi kalangan muslim, bahkan yahudi sekalipun.
“Jika aspek-aspek tersebut telah terpenuhi, maka seseorang akan sampai pada hikmah,” terangnya.
Hikmah adalah hasil akhir yang merupakan konsekuensi alamiah dan logis dari proses panjang yang dilalui oleh seorang muslim dalam beragama.
Menurut menantu Gus Mus itu, problem keberagamaan yang dialami saat ini adalah tidak sabar dalam mengikuti proses tersebut. Seseorang cenderung ingin meloncat dan melakukan akselerasi, karena waktu yang diinginkan lebih pendek.
Akibatnya seseorang kehilangan momentum untuk melakukan pendisiplinan diri, yang mana dulu merupakan proses yang dilakukan oleh semua orang, baik para ulama maupun orang awam. Hingga akhirnya sering terjadi penjungkirbalikan otoritas, yang di bawah menjadi di atas, yang di atas menjadi di bawah.
“Yang tidak gus mengaku jadi gus, yang tidak kiai mengaku jadi kiai, dan yang bener-bener kiai saking rendah hatinya tidak mau di sebut sebagai kiai,” tambahnya. (Nuri Farikhatin/Muiz)