Nasional

Ulama Beda Pendapat, Mana yang Harus Diikuti?

NU Online  ·  Senin, 4 Juni 2018 | 22:30 WIB

Ulama Beda Pendapat, Mana yang Harus Diikuti?

KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU

Bandarlampung, NU Online
Perbedaan pendapat para ulama sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Kemudian setelah beliau wafat pun perbedaan pendapat tetap berlangsung. Sampai hari kiamatpun para ulama tetap berbeda pendapat di dalam berbagai hal yang terbuka bagi berbagai penafsiran.

Demikian ditegaskan Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, Senin (4/6) kepada NU Online, terkait siapa yang harus diikuti ketika ulama memiliki perbedaan pendapat.

"Perbedaan pendapat adalah merupakan sesuatu yang niscaya namun yang paling penting dari perbedaan pendapat itu bukan sekedar berbeda pendapat akan tetapi perbedaan pendapat yang didasari oleh ilmu Al-Qur'an dan Sunah. Pada bagian-bagian ayat tertentu dan hadis-hadis tertentu itu memang terbuka bagi penafsiran. Oleh karena itu di dalam menafsirkannya para ulama berbeda pendapat," ungkapnya.

Tidak jarang lanjut Dosen UIN Raden Intan Lampung ini, antara guru dengan murid berbeda pendapat di dalam menafsirkan Al-Qur'an sebagaimana terjadi antara Imam Malik dan Imam Syafi'i di dalam masalah wudhu misalnya. Menurut mazhab Imam Malik yang diusap dalam wudhu adalah keseluruhan kepala dan menurut mazhab Imam Syafi'i yang diusap adalah sebagian kepala

"Yang demikian ini adalah perbedaan pendapat yang absah untuk diikuti kedua-duanya karena kedua-duanya berdasarkan ilmu," jelasnya.

Namun saat ini perbedaan pendapat sering kali dilakukan oleh orang-orang yang sama-sama tidak berilmu sehingga perbedaan pendapat diantara orang yang tidak berilmu meskipun dipanggil ustadz karena berdasarkan hawa nafsunya maka pendapat-pendapat mereka tidak boleh untuk diikuti.

"Banyak sekali saat ini orang-orang yang memberi jawaban atau memberikan fatwa tanpa ilmu sementara Rasulullah SAW telah mengingatkan kita bahwa barangsiapa memberikan fatwa, jawaban tanpa ilmu maka dia telah sesat dan menyesatkan orang lain," jelasnya.

Maka menurut kiai muda kelahiran Pringsewu, Lampung ini yang boleh diikuti adalah pendapat pendapat ulama mazhab yaitu para mujtahid para imam-imam mazhab yang kitab-kitabnya dipelajari di pondok-pondok pesantren yang dikenal dengan kitab kuning.

"Mudah-mudahan perbedaan pendapat para ulama tidak membuat kita menjadi bingung tentang siapa yang kita ikuti. Kita mengikuti para ulama-ulama  yang diberi kewenangan oleh Rasulullah untuk diikuti. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris ilmu dan amal para nabi terdahulu," pungkasnya. (Red: Muhammad Faizin)