Nasional

Tuan Guru, Sebutan Ulama Khas Lombok

Kam, 9 April 2015 | 05:30 WIB

Lombok Tengah, NU Online
Istilah Tuan Guru memang akrab dengan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru merupakan sebutan, panggilan, sekaligus gelar dari masyarakat untuk ulama di daerah ini. Posisi Tuan Guru setara dengan Kiai di Tanah Jawa.<>

Demikian penuturan Pengasuh Pesantren Al-Manshuriyah Ta’limusshibyan TGH Ahmad Taqiuddin Mansur kepada NU Online menjelang perhelatan Pra-Muktamar NU di kediamannya di komplek pesantren Bonder-Praya Barat-Lombok Tengah, NTB, Rabu (8/4) sore.

“Kalau kiai di sini itu banyak. Yang mandiin mayit, disebut kiai. Yang mimpin tahlil, dzikir, juga kiai. Banyak. Jadi, kiai di sini biasa aja. Nah, kalau tuan guru sangat langka. Bisa hanya satu perseribu orang. Seperti kiai di Jawa,” ujar TGH Taqiuddin.

Namun, lanjutnya, sekarang ini penduduk Lombok telah menerima istilah kiai sebagai seorang ulama. Mereka juga mampu menempatkan kiai pada proporsinya. “Yang jelas, masyarakat sini menyebut kiai seperti di Jawa itu sebagai Tuan Guru. Jadi, tidak semua orang bisa menjadi tuan guru,” tandas Ketua PWNU NTB ini.

Menurut TGH Taqiuddin, sebutan Tuan Guru juga berlaku bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. “Kalau belum haji, ya, ustadz atau guru biasa lah. Namun, tidak juga yang punya pesantren. Memang umumnya tuan guru itu memiliki pesantren. Satu hal yang kami kagumi dari seorang tuan guru adalah ketokohannya,” ungkap suami Nyai Hj Hattiyatul Malichah ini.   

Dipanggil tuan guru, tambahnya, selain karena memiliki trah atau keturunan tuan guru pendiri pesantren, juga memiliki keilmuan yang mumpuni. Meski demikian, ia menyatakan berat sekali menyangga gelar tuan guru.

“Namun, rasanya lebih karena kesolehannya ya, bukan karena ilmunya saja. Tapi sikap wara’-nya itu. Nah, masyarakat lah yang akhirnya memberi gelar seperti itu. Cuman memang berat ya disebut tuan guru. Karena tuan guru kan nggak bisa bebas main bola,” selorohnya sembari tertawa.

Disinggung soal keterpilihan pesantren asuhannya sebagai tempat penyelenggaraan pra-muktamar, TGH Taqiuddin menjawab biasa saja, tidak ada sesuatu yang berlebihan apalagi istimewa. Yakni, karena posisinya sebagai Ketua PWNU NTB yang memiliki pesantren.

“Sederhana saja. Mungkin karena saya Ketua NU NTB yang punya pondok kali ya. Dan, pondok-pondok yang kami rekayasa untuk siap ketempatan ternyata susah juga. Tidak seperti di Jawa. Namun yang pasti, saya tidak ingin nilai-nilai pondok seperti di Jawa di sini jangan sampai hilang,” tegasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)