Nasional

Tradisi NU Bukan Budaya Sinkretis

NU Online  ·  Kamis, 19 April 2012 | 23:19 WIB

Jakarta, NU Online
Tradisi NU bukan budaya sinkretis. Tradisi itu jelas dibawa oleh para penyebar Islam di Indonesia. Demikian diungkapkan sejarawan Agus Sunyoto saat berada di beranda NU Online, Gedung PBNU Jakarta, Selasa (17/4) malam lalu.<>

Pengetahuan yang beredar di masyarakat selama ini keliru. Mereka berasumsi bahwa tradisi NU seperti upacara tahlilan, yasinan, dan kendurian, atau ziarah kubur, mengadopsi dari tradisi agama Hindu.

Bagi Agus Sunyoto, penulis buku ‘Suluk Abdul Jalil, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar’ yang berjilid-jilid ini, anggapan mereka ini salah. Ia, mengungkapkan berbagai literatur yang mendukung pernyataannya.

Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seninam dan Budayawan (Lesbumi) NU ini memaparkan, tradisi NU itu misalnya upacara tahlilan. Upacara tahlilan ini diperingati masyarakat untuk yang orang meninggal dunia. Peringatan itu dilakukan 3, 7, 15, 40, 100, dan 1000 hari. Semua peringatan ini, dibawa orang-orang Islam dari Champa.

Ia melacak bahwa tradisi NU berawal dari Walisongo. Walisongo membawa tradisi demikian dari negeri Champa, tambahnya. Sunan Ampel, dengan nama kecil Raden Rahmat, lahir 1401 M di negeri Champa. Champa adalah satu negeri kecil yang terletak kini di Kamboja. Sunan Ampel dari Champa membawa tradisi tahlilan.

Sebelum Walisongo datang, kerajaan Majapahit menguasai wilayah Nusantara. Menurut penyusun Atlas Walisongo ini, tradisi Tahlilan belum ada di tengah masyarakat. Jadi pernyataan bahwa tahlilan itu berasal dari budaya Hindu, awur dan keliru.

Upacara tahlilan itu berasal dari orang Islam. Islam Nusantara terpengaruh oleh orang Islam Champa. Sementara, tradisi Islam Champa terpengaruh oleh Islam Persia. Upacara Kendurian misalnya, itu berasal dari Persia. Kata ‘Kenduri’ sendiri adalah bahasa Persia kok. Jadi, upacara kenduri bukan dari bahasa Hindu, tukasnya.

Agus menulis buku yang baru terbit 2011 lalu, “Walisongo, Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan”. Dalam pengantar buku itu, ia mengatakan bahwa dalam literatur sejarah Indonesia, ada usaha sistematis untuk menghilangkan Walisongo. Buku barunya ini cukup kuat dalam meluruskan sejarah tradisi Islam Nusantara dengan referensi-referensi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menutup pembicaraannya dengan NU Online, Agus berpesan agar nahdliyin menggali lagi lembaran-lembaran sejarah dengan kritis. Karena, banyak sekali sejarah-sejarah yang ditulis oleh kaum orientalis untuk mengaburkan jejak Walisongo yang selama ini menjadi teladan umat Islam Nusantara, tambahnya.


Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis   : Alhafiz Kurniawan