Nasional

Tiga Sifat Merusak: Pelit yang Ditaati, Nafsu yang Dituruti, Bangga Diri

Ahad, 9 Mei 2021 | 06:15 WIB

Tiga Sifat Merusak: Pelit yang Ditaati, Nafsu yang Dituruti, Bangga Diri

Budayawan Ngatawi al-Zastrouw. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Budayawan Ngatawi al-Zastrouw menjelaskan faktor yang dapat merusak manusia kata Rasulullah itu ada tiga.


"Pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan terakhir merasa bangga terhadap diri sendiri. Itu semua dapat merusak seseorang," ujar Zastrouw dalam acara Komunitas Musik Mengaji (Komuji), Jumat lalu.


Sebab itu, kata Zastrouw, pelit berbeda dengan hemat. Jadi, hemat itu adalah suatu sikap untuk hati-hati dalam menggunakan dan memanfaatkan rezeki yang diberikan oleh Allah tanpa meninggalkan kegiatan beramal dan bersedekah.


"Tetapi kalau pelit itu dia selalu menjaga harta dengan menggenggam saja, tidak boleh orang lain menikmati, kalau perlu malah dia ngambil dari orang lain. Nah itu pelit," ujar Konsultan masalah Sosial, budaya dan agama seni religi Nusantara ini.


Dalam bahasa Arab, pelit mempunyai dua arti bakhil dan kikir. Bakhil memiliki arti menahan hak seseorang dengan menolak menunaikan kewajiban seperti membayar zakat. Sedangkan kikir adalah menahan hak orang lain dan mengambil keuntungan darinya.


"Berbeda lagi dengan pelit. Pelit itu di-nash dalam hadits sebagai bagian yang merusak jiwanya seseorang karena pelit ini penyakit menular yang sulit untuk diobati," terangnya.


Penggiat seni tradisi dan budaya Nusantara ini menyatakan, yang dipikirkan orang-orang pelit itu tidak lain hanya untuk memenuhi keinginan dirinya sendiri bukan kebutuhannya.


Sehingga tak heran apabila sering ditemukan orang-orang yang menggunakan hartanya secara berlebihan hanya untuk memuaskan nafsunya, meskipun jalan yang digunakan berupa kebaikan.


"Allah itu tidak suka sesuatu yang berlebihan. Jadi, makan minum secukupnya saja, jangan berlebihan," tegas Zastrouw.


Dalam Islam sendiri menurut penggagas dan pelaksana beberapa program Religi bersama para artis Ibu Kota ini, sudah terdapat aturan dan arahan untuk hidup sederhana dan sewajarnya.


"Jangan sampai berlebihan dan mengambil hak orang lain. Jangan sampai berlebihan akhirnya orang lain tidak kebagian," tuturnya.


Zastrouw menegaskan, Islam tidak melarang umatnya untuk berbahagia Karena Allah memberkahi setiap makhluknya dengan kebahagiaan. Sebab itu, Zastrouw mengimbau untuk bersikap wajar dan sederhana dalam menjemput kebahagiaan.


"Hari raya bukan semata-mata tempat untuk berpesta pora tapi hari raya adalah untuk tempat berbagi suka cita dengan sesama. Maka kita ingatkan, berbaju baru boleh, tapi beriman dan bersemangat baru tentu akan lebih baik," tandasnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad