Nasional

Tertekan Gegara Kabar Pemilu? Waspadai Gejala Election Stress Disorder

Kam, 15 Februari 2024 | 21:00 WIB

Tertekan Gegara Kabar Pemilu? Waspadai Gejala Election Stress Disorder

Ilustrasi stres akibat Pemilu. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan momen penting dalam pesta demokrasi, namun juga menjadi ujian bagi kesehatan mental masyarakat. Hiruk pikuk pascapemilu 2024 yang baru usai dilaksanakan pada Rabu (14/2/2024) kemarin masih terasa, salah satunya fenomena election stress disorder. Fenomena ini tak hanya memengaruhi politikus, tetapi juga pendukungnya.


Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit YASRI Citra Fitri Agustina, menjelaskan istilah Election Stress Disorder (gangguan stres Pemilu) diperkenalkan pertama kali oleh psikolog asal Amerika Serikat, yakni Steven Stosny pada tahun 2016. Ia mengatakan, kondisi stres yang dihadapi masyarakat terkait perhelatan politik, berpotensi merajalela jika tidak segera diatasi.
 

Ia mengatakan, hasil survei stres di Amerika tahun 2016 menunjukkan bahwa 52 persen orang Amerika merasakan stres signifikan terkait pemilihan presiden. Para pasien melaporkan kesulitan tidur, gangguan mental, dan ketidakseimbangan dalam rutinitas sehari-hari sebagai akibat dari stres.


Election stress disorder ini mulai dipopulerkan tahun 2016. Memang di Amerika sendiri, karena pada saat itu habis election, ada 52 persen orang Amerika yang bilang pemilihan presiden itu adalah sumber stres yang sangat yang besar signifikan dalam hidup mereka,” kata Dokter Citra kepada NU Online, Rabu (14/2/2024).


Sekretaris Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) itu menjelaskan, gejala Election Stress Disorder meliputi kesulitan tidur, rasa cemas yang berlebihan, dan mudah tersinggung.


Election stress disorder ini kayak stress pada umumnya ya gejalanya tidur terganggu tadi ya, terus interaksinya juga terganggu, terus interaksi dengan teman juga terganggu,” ungkapnya.

 
Dalam menghadapi fenomena ini, dokter menyarankan agar masyarakat mengelola informasi dengan bijak. Selain itu, masyarakat juga harus berhati-hati terhadap informasi yang tidak valid atau berpotensi menyesatkan, serta mempercayai sumber-sumber informasi yang tepercaya.
 

“Kita sendiri bisa memfilter. Kalau kita melihat sosial media tertentu kita bisa terstimulasi, mungkin kita bisa filter dulu. Filter juga dari WA grup yang kita tidak nyaman. Kita sendiri yang harus mencoba memahami. Terus juga dengan olahraga, jalan-jalan pagi misalnya,” ungkap dia.
 

Dalam menghadapi stres pascapemilu, kesadaran akan kondisi ini dan upaya untuk mencari bantuan jika diperlukan merupakan langkah penting untuk menjaga kesejahteraan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan.
 

“Tapi, jangan lupa walaupun kita membatasi sementara dengan beberapa media sosial, usahakan kita tetap terhubung, jangan sampai kita terisolasi. Ada orang yang kita percaya yang bisa membantu kita,” ujarnya.
 

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya saling menghargai pilihan politik masing-masing dan tidak memaksakan pandangan kepada orang lain.


“Kita harus mempercayai semua yang mengajukan diri menjadi kandidat berarti orang yang mau mengabdikan diri kepada negara dan bangsa ini. Kita perlu memaklumi, pilihan-pilihan itu nggak salah dan memang saling menghargai pilihan orang lain, tidak memaksa diri dengan pilihan kita kepada orang lain,” pungkasnya.