Jakarta, NU Online
Terorisme merupakan tindakan nyata dari sekelompok orang mengatasnamakan ideologi tertentu. Aksi tersebut bukanlah rekayasa untuk menutupi berbagai problematika yang melanda negeri ini.
“Itu bukan sebuah rekayasa politik,” ujar Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta KH Mulawarman Hannase pada Focus Group Discussion (FGD) di Kantor PWNU DKI Jakarta, Utan Kayu, Jakarta, Kamis (24/5).
Tema yang diangkat pada diskusi tersebut adalah Antisipasi Aksi Teror di Ibukota di Bulan Puasa dan Idul Fitri. Ia menuturkan bahwa Ramadhan dan Idul Fitri merupakan momen krusial yang memungkinkan teroris untuk memanfaatkannya. Hal ini, menurutnya, harus diantisipasi. Oleh karenanya, PWNU mengadakan diskusi dengan tema tersebut dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Acara ini harus diintensifkan,” harapnya.
Senada dengan intelektual muda NU itu, Komandan Resor Militer (Danrem) Kol Inf Bobby Rinal menyatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang nyata. “Terorisme itu benar nyata, ancaman,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia telah memerintahkan prajuritnya untuk berpatroli. Setiap malam, ujarnya, satu pleton ia tugaskan untuk memantau wilayahnya.
Sementara itu, Kapala Bagian Analis Direktorat Intelkam Polda Metro Jaya Rudi Suryadi meminta masyarakat untuk berkoordinasi dengan pihak keamanan dan pemerintahan setempat jika terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tidak sekadar main hakim sendiri dengan tuduhan tak berdasar.
Meskipun begitu, ia juga menuturkan agar masyarakat tidak antipati terhadap lingkungannya. Sebab, menurutnya, kepedulian masyarakat menjadi kunci untuk mengantisipasi terjadinya terorisme.
“Kuncinya masyarakat peduli terhadap lingkungannya,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Daerah DKI Jakarta Neno Hamriyano. Ia bercerita bahwa di beberapa perumahan atau perkampungan biasanya memasang pengumuman wajib lapor bagi orang baru.
“Satu kali 24 jam, tamu wajib lapor,” katanya menirukan bacaan yang tertera pada pengumuman tersebut. Namun, ia menyayangkan hal itu tidak lagi terlihat sebagaimana sebelumnya.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah tidak bisa sendirian dalam menangani kasus tersebut. Bahkan, ia menegaskan tidak ada satu negara pun yang mampu mengatasi masalah terorisme secara mandiri. Artinya, lanjutnya, perlu keterlibatan masyarakat dalam menghadapi aksi tersebut.
“Dibutuhkan peran masyarakat community watch agar masyarakat lebih sensitif,” ujarnya.
Sejak awal dan sampai saat ini, pemerintah telah melakukan pendekatan lunak dengan program deradikalisasi. Program ini, katanya, guna memulihkan pemikiran seseorang yang terdampak radikalisme.
Selain itu, pemerintah juga melaksanakn program kontraradikalisme. Pendekatan ini digunakan untuk membendung paham radikal yang terus menjangkiti dan menyebar melalui berbagai sektor. (Syakir NF/Kendi Setiawan)