Nasional

Terkait UU Cipta Kerja, Sarbumusi NU Tetap Ambil Langkah Uji Materi

Sen, 19 Oktober 2020 | 07:00 WIB

Terkait UU Cipta Kerja, Sarbumusi NU Tetap Ambil Langkah Uji Materi

Sarbumusi NU. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang telah disahkan Pemerintah dan DPR pada 5 Oktober 2020, telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober lalu. Selanjutnya, UU Cipta Kerja akan diundangkan di lembar negara dan kemudian ditandatangani oleh Presiden Jokowi 30 hari setelah UU tersebut disahkan.


Terkait itu, sejumlah serikat buruh dan pekerja tetap akan mengambil langkah hukum untuk uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut lantaran dinilai banyak pasal bermasalah di dalamnya. Selain itu, secara proses legislasinya pun cenderung sangat tidak transparan ke publik.


Wakil Presiden Dalam Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (K-Sarbumusi NU) Sukitman Sudjatmiko mengaku akan tetap mengambil langkah hukum uji materi UU Cipta Kerja ke MK setelah diundangkan di dalam lembar negara. 


Namun sebelum langkah uji materi ke MK itu diambil, ia mengaku akan terlebih dulu mempelajari naskah UU Cipta Kerja versi teranyar yang berjumlah 812 halaman. Sejauh ini, Sarbumusi masih menggunakan analisa pada draf yang beredar 5 Oktober lalu usai Pemerintah dan DPR mengesahkan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.


“Sarbumusi masih menggunakan analisa yang draf 5 Oktober. Nanti kami baca dulu yang draf 812 halaman. Langkah judicial review akan tetap dilakukan setelah Cipta Kerja diundangkan dalam lembar negara,” kata Sukitman, kepada NU Online, Senin (19/10).


Sebelumnya DPP K-Sarbumusi NU juga telah mengeluarkan sikap resmi terhadap UU Cipta Kerja ini. Di dalam keterangannya, Sarbumusi menolak hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja karena dinilai terlalu prematur dan berpotensi melegalkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).


Kepada NU Online, pada 9 Oktober lalu, Presiden DPP K-Sarbumusi Syaiful Bahri Anshori menerangkan bahwa UU Cipta Kerja cenderung berorientasi kepada kebijakan perburuhan ramah pasar dengan karakter neoliberalisme yang kuat. Itu ditandai dengan deregulasi, fleksibilitas, efisiensi, serta penarikan peran dan tanggung jawab terhadap warga negara. 


Tak hanya itu, Sarbumusi NU juga menilai UU Cipta Kerja telah melegalkan pelanggaran HAM melalui instrument yang memperlemah proteksi. Artinya, UU Cipta Kerja terlalu mempromosikan pemiskinan struktural melalui kapitalisme yang dikonsolidasikan dan dilegalkan.


Lebih lanjut, Sarbumusi menolak UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Berikutnya, Sarbumusi akan melakukan gerakan konstitusional dengan cara mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi dan membersamai gerakan-gerakan serupa untuk klaster-klaster lainnya.


Penjelasan PSHK Indonesia untuk mengajukan gugatan ke MK


Lantaran UU Cipta Kerja ini banyak yang menilai bermasalah dalam proses pembentukannya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menyatakan dapat diajukan pembatalan melalui proses uji formil di Mahkamah Konstitusi.


“UU yang proses pembentukannya melanggar prinsip-prinsip pembentukan peraturan, seperti keterbukaan dan partisipasi masyarakat dapat diajukan pembatalan melalui proses uji formil di Mahkamah Konstitusi,” jelas PSHK Indonesia dalam utas di akun twitter @PSHKIndonesia, seperti dikutip NU Online, pada Senin (19/10).


Sedangkan dasar hukum yang dapat dijadikan landasan adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5, 88, dan 96. Selanjutnya bisa pula digunakan Pasal 51A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 


Kemudian, PSHK Indonesia juga menjelaskan bahwa setelah sebuah rancangan UU disetujui menjadi UU oleh DPR bersama Presiden, UU itu sudah tidak boleh diedit. DPR memiliki waktu seminggu untuk mempersiapkan hal-hal terkait teknis penulisan sebuah rancangan untuk bisa ditandatangani presiden.


“Tapi, dalam waktu tersebut tidak boleh dilakukan perubahan apa pun terhadap isi UU,” demikian bunyi cuitan PSHK Indonesia. Dasar hukum terkait itu termaktub dalam Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


Lebih lanjut, berdasarkan pasal 88 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pemerintah dan DPR seharusnya menyebarluaskan naskah rancangan UU Cipta Kerja selama proses pembentukannya menjadi UU.


“Termasuk pada saat tahap penyusunan dan pembahasan untuk memberikan informasi dan mendapatkan masukan dari masyarakat. Jika masyarakat kesulitan memperoleh naskah resminya, artinya pemerintah dan DPR menyalahi keharusan tentang penyebarluasan tersebut,” ungkap PSHK Indonesia. 


PSHK Indonesia menyebut bahwa MK bisa menguji UU secara formil untuk dilakukan dalam menilai apakah proses pembentukan suatu  UU bertentangan dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan perundangan-undangan. Jika MK mengabulkan uji formil maka keseluruhan UU itu akan dinyatakan batal secara hukum.


Selain itu bisa juga dilakukan uji materiil untuk menilai apakah sebagian atau seluruh ketentuan dalam suatu UU bertentangan dengan konstitusi. Jika MK mengabulkan uji materiil, ketentuan-ketentuan yang diuji tersebut menjadi tidak mengikat.


Terakhir, PSHK Indonesia menjelaskan hubungan formal UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang  Ketenagakerjaan tetap berlaku kecuali pasal-pasal yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja,” tutup PSHK Indonesia dalam utas di akun twitternya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad