Jakarta, NU Online
Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmilyah (DPP FKDT) menyambangi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk meminta petunjuk terkait Peninjauan Kembali (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pasal 30 Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Dalam lawatannya ini, DPP FKDT diterima langsung oleh Ketua PBNU H Robikin Emhas di lantai 2 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Mereka menyampaikan nasib para guru diniyah yang masih terdiskriminasi oleh pemerintah.
“Selain silaturrahim, tujuan kami ke PBNU untuk meminta arahan terkait dengan nasib para guru madrasah diniyah yang masih dianaktirikan oleh pemerintah sehingga kami bermaksud mengajukan judicial review ke MK,” ujar Ketua DPP FKDT H Tatang Royani kepada NU Online, Jumat (23/9).
Dibandingkan dengan guru-guru formal, tegas Tatang, nasib kami seolah dianaktirikan sehingga dengan langkah kami ini, pemerintah bisa berlaku adil kepada guru-guru nonformal, seperti guru madrasah diniyah.
Menanggapi hal ini, Ketua PBNU Robikin Emhas mendukung langkah DPP FKDT untuk memperjuangkan nasib para guru nonformal. Karena walau bagaimana pun, peran guru madrasah tidak bisa dikesampingkan sebab ikut mewujudkan generasi anak bangsa bermoral kokoh.
“Prinsipnya, mereka merasa tidak memiliki perlakuan yang sama tentang kedudukannya sebagai guru nonformal. Dari pasal 30 UU Sisdiknas itu, mereka didiskriminasi karena tidak diperlakukan sama dengan guru-guru formal sehingga mengajukan judicial review ke MK. Kami mendukung gagasan tersebut,” jelas Robikin.
Pasal 30 UU Sisdiknas adalah bagian kesembilan tentang Pendidikan Keagamaan mencakup 5 ayat sebagai berikut:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(Fathoni)