Terbang Genjring, Bertahan di Tengah Gempuran Seni Modern
NU Online · Ahad, 13 Maret 2016 | 05:21 WIB
Wonosobo, NU Online
Belasan orang-orang tua bakda Isya' berkumpul di serambi Masjid Darussalam Wonoboyo, Temanggung, Jawa Tengah. Sekitar tujuh orang dari mereka tampak antusias menabuh terbang genjring. Sebagian lainnya kompak melantunkan syi'ir puji-pujian berbahasa Jawa. Rupanya malam itu mereka sedang latihan, mempersiapkan diri karena pada esok harinya, Ahad (13/3), akan tampil di panggung mengisi acara pembuka dalam suatu pengajian rutin yang dihelat selapan sekali.
Seni terbang genjring yang sudah puluhan tahun berjalan di Kecamatan Wonoboyo ini mempunyai karakteristik tersendiri dibanding seni rebana lainnya, seperti marawis atau hadrah. Instrumen musik yang dipakai sangat sederhana, hanya beberapa terbang yang pada tepinya terdapat piringan kecil logam, sehingga menghasilkan suara gemrincing. Tidak ada pelengkap atau peranti musik lainnya semisal bas, kecapi, apalagi orgen sebagaimana yang ada dalam seni rebana modern.
Awalnya grup-grup seni terbang genjring ini acap tampil pada berbagai momentum pengajian atau didakan secara bergiliran di rumah anggota jamaah yang biasanya dirangkai dengan kegitana tahlilan atau mujahadahan. Lalu kerap memeriahkan acara-acara hajatan warga. Tetapi seiring mulai bermunculannya seni islami yang baru seperti hadrah dan rebana modern sejak tahun 2000-an, warga lebih memilih mengundang model seni rebana atau hadrah tersebut tiap kali mengadakan acara hajatan.
Demikian juga kekhasan lain dijumpai dalam bacaan yang dilantunkan ketika mengiringi irama terbang. Selain bacaan berupa puji-pujian untuk Allah dan Nabi Muhammad, juga bacaan materi fiqih yang sudah disusun menjadi syair. Syair fiqih tersebut merupakan gubahan leluhur kiai desa setempat tempo dulu dan masih dibaca sampai sekarang.
Saat dikonfirmasi NU Online, Sabtu (12/3), salah satu tokoh dan sesepuh Desa Wonoboyo, Suyono yang berusia sekitar 85 tahun menyatakan bahwa dulu saat dia masih muda, penggemar atau yang aktif dalam kegitan seni terbangan ini tidak hanya orang-orang tua saja sebagaimana sekarang, melainkan segenap remaja dan pemuda juga ikut.
Menurutnya, tradisi seni tradisional terbang genjring ini sudah lama berjalan di Desa Wonoboyo, bahkan seingatnya saat dia masih kecil sekitar tahun 1940-an seni terbang genjring tersebut sudah ada.
Ketua grup terbang genjring Darussalam, Sabar, menyatakan dirinya pesimis akan masa depan atau adanya generasi penerus yang masih menjaga dan mempertahankan tradisi daerah berupa seni terbang genjring itu. Apalagi grup tersebut semua anggotanya tidak ada dari kalangan pemuda, hampir semu sudah di atas kepala lima. "Mari para pemuda ikut latihan di grup ini agar tradisi seni terbang lokal ini nanti ada penerusnya", ajaknya. (M. Haromain/Mahbib)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
3
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
4
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
5
Pemerintah Perlu Beri Perhatian Serius pada Sekolah Nonformal, Wadah Pendidikan Kaum Marginal
6
KH Kafabihi Mahrus: Tujuan Didirikannya Pesantren agar Masyarakat dan Negara Jadi Baik
Terkini
Lihat Semua