Nasional

Tantangan Masyarakat Pesantren dalam Politik

NU Online  ·  Senin, 3 November 2014 | 05:03 WIB

Sleman, NU Online
Wakil Ketua PWNU DI Yogyakarta Prof Dr Purwo Santoso mengatakan bahwa pesantren sebagai fondasi epistemologis ilmu politik memiliki sebuah tantangan, yaitu bagaimana memastikan bahwa ajaran-ajaran yang telah dianggap bagus itu bisa terkomunikasikan kepada masyarakat melalui sebuah kontekstualisasi.
<>
“Karena sebenarnya Islam telah memiliki dasar filosofis yang tidak bisa ditarik kemana-mana,” tambahnya.

Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Kajian Filsafat Politik Islam yang diadakan oleh Jurnal Mlangi yang bekerjasama dengan PMII Sleman dan KMNU UGM, Sabtu (01/10), di Auditorium RK 4 Fakultas Peternakan UGM.

Pembicara lainnya, Dr Moh Nur Ichwan, mengatakan bahwa banyak masyarakat pesantren yang memilih untuk menjaga jarak dari politik, atau tepatnya bersikap a-politis sehingga menyebabkan mereka mudah dipolitisasi. Padahal masyarakat pesantren memiliki bekal keilmuan yang dekat dengan realitas sehari-hari, seperti fiqh dan ushul fiqh.

“Cuma tantangannya akan mengarah pada pragmatisme politik, sehingga perlu dikendalikan oleh etika politik yang berpijak pada nilai-nilai luhur,” kata sosok yang juga Kaprodi Agama dan Filsafat PPs UIN Sunan Kalijaga siang itu.

Oleh karena itu, menurutnya, masyakarakat pesantren perlu memiliki “nalar kritis” yang terdiri dari tiga hal. Pertama, tidak anti realitas terhadap problem-problem sosial yang ada. Kedua, tidak bersikap pragmatis secara berlebihan dan oportunis. “Kemudian yang ketiga, masyarakat pesantren tidak terpinggirkan dan terdiskriminasi,” tegasnya. (Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)