Nasional

Tak Juga Direvisi, UU Terorisme Akar Maraknya Aksi Teror

NU Online  ·  Ahad, 13 Mei 2018 | 13:50 WIB

Jakarta, NU Online
Ledakan bom terjadi di beberapa gereja di Surabaya Ahad (13/5) pagi tadi. Hal ini berakar pada kelemahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Akar persoalannya memang terletak pada kelemahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini kurang efektif memenuhi kebutuhan penanggulangan terorisme di lapangan," kata Anggota Divisi Riset dan Advokasi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Fathuddin Kalimas saat dihubungi NU Online, Ahad (13/5) sore.

UU tersebut, menurutnya, belum memberikan keleluasaan bagi aparat untuk melakukan langkah pencegahan atau tindakan preventif. Padahal, lanjutnya, hal tersebut penting guna memudahkan aparat penegak hukum untuk memiliki landasan bertindak yang kuat dalam upaya pencegahan sebelum aksi terorisme dilakukan.

Fathuddin mengungkapkan bahwa aksi teror selama ini merupakan aksi nyata yang telah terjadi dengan berbagai bentuknya, seperti bom bunuh diri. Hal ini, menurutnya, dikarenakan polisi terganjal ketentuan untuk menindak pelaku yang harus melakukan tindak pidana lebih dahulu.

"Karena memang, untuk menindak, polisi terikat ketentuan bahwa yang bersangkutan harus melakukan pidana terdahulu," ujar Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sementara itu, lanjutnya, aksi-aksi yang mengarah pada lahirnya tindak pidana terorisme belum terakomodasi oleh undang-undang yang ada saat ini. Di antaranya, ujaran ekstrimisme, ujaran kebencian, hasutan, latihan perang terduga kelompok teroris, rencana pengeboman maupun bergabungnya WNI dengan jaringan kelompok-kelompok teroris di luar seperti ISIS.

Oleh karena itu, Fathuddin mendorong agar pembahasan revisi UU antiterorisme segera diselesaikan. Selama ini, menurutnya, pembahasan tersebut terlalu disibukkan dengan perdebatan alot soal definisi terorisme. Padahal, lanjutnya, ancaman terorisme nyata di depan mata.

"Perdebatan tersebut berpangkal pada persinggungannya dengan persoalan kebebasan sipil dan HAM," katanya.

Alumnus Pondok Pesantren Darussunnah, Ciputat, Tangerang Selatan itu juga mengungkapkan bahwa ada kekhawatiran sebagian kalangan akan potensi tindakan kesewenangan aparat, seperti salah tangkap.

"Padahal keberadaan mereka sangat masif gerakannya, demikian pula jumlah pengikutnya sehingga butuh upaya ekstra dalam menanganinya," pungkasnya. (Syakir NF/Fathoni)