Nasional EKSPEDISI ISLAM NUSANTARA (33)

Syiah Kuala, Pengarang Tafsir Pertama di Asia Tenggara

Rab, 4 Mei 2016 | 13:01 WIB

Banda Aceh, NU Online 
Syekh Abdurrauf Singkil (1024 H/1615 M -1105 H/1693 M) merupakan ulama pertamayang menulis tafsir Al-Qur’an lengkap di kawasan Asia Tenggara. Keluarganya berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Ia merupakan anak dari Ali Fansuri yang merupakan kakak kandung Hamzah Fansuri.

Menurut Wakil Rektor Misri Al-Muchisn Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ia dijuluki masyarakat Aceh dengan Tengku Syiah di Kuala. Syiah yang dimaksud adalah syekh atau ulama dalam lidah orang Aceh. 

Karyanya yang paling terkenal adalah kitab tafsir Turjuman Al-Mustafid. Selain itu dia menulis karya lain. Diperkirakan ada sekitar 27 karya. Sementara yang lain ada yang menyebutkan 32. Pendapat yang terakhir adalah karena ada sebagian karya yang diduga dua karya dalam satu manuskrip.  

Dari 27 karya tersebut, bisa dilihat bahwa Syiah Kuala memiliki pengetahuan agama yang luas. Selain tafsir, ia juga menulis fiqih, di antaranya yang populer adalah Mir’atut Tulab.

“Kitab ini mudah didapatkan. Kalau datang ke perpustakaan Unsyiah, kita akan menemukannya. Itu bidang fikih. Konon kabarnya, fikih perempuan,” jelasnya di Banda Aceh, Senin (2/5). 

Syiah Kuala juga membahas bidang tasawuf yang lebih khusus ke tarekat Syatariyah. Silsilah tarekanya sambung kepada Rasulullah SAW. “Dia sempat belajar tarekat ke Al-Kanuni. Silsilahnya ketemu terus sampai Nabi Muhammad,” tambahnya.

Muridnya yang terkenal adalah Baba Daud Aceh, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Syekh Abdullah di Trenggano, Malaysia. 

Kemungkinan besar, tiga murid tersebut belajar kepada Syiah Kuala di dayah yang terletak di Kuala yang kemudian membawa tarekat Syatariyah di wilayhnya masing-masing. “Ada tradisi di Aceh penisbahan seseorang itu ke tempat. Misalnya Syiah di Kuala.” 

Tapi ia menyanyangkan karya-karya Syiah Kuala hanya sedikit yang dikaji di dayah-dayah Aceh sekarang. Ia menduga karyanya menggunakan bahasa Arab yang sulit, berbeda dengan karya Syekh Nawawi AL-Bantani yang relatif mudah. (Abdullah Alawi)