Susah Mengikuti Zuhudnya Gus Dur
NU Online · Rabu, 3 Juli 2013 | 05:51 WIB
Jakarta, NU Online
Salah satu sifat mulia Gus Dur adalah kezuhudannya yang luar biasa. Kesederhanaannya, bertolak belakang dengan kehidupan masa kini yang sangat mengagungkan dunia material. Inilah yang membuatnya mampu bertahan dari berbagai godaan harta maupun tahta yang seringkali menjerumuskan para aktifis yang sebelumnya menyatakan diri untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat.
<>
Mantan sekretaris jenderal PBNU H Muhyiddin Arubusman menuturkan, semasa menjadi ketua umum, biasa saja Gus Dur naik angkot atau bajaj dan turun di depan gedung PBNU. Tak ada perasaan gengsi dengan angkutan merakyat tersebut, karena ia menganggap dirinya bagian dari rakyat. Bandingkan saja dengan perilaku pejabat yang meminta berbagai fasilitas mewah, tetapi pengabdiannya kepada rakyat nol besar.
“Bagi Gus Dur, yang penting adalah fungsi, bukan gengsinya,” katanya.
Pernah suatu ketika, sekitar tahun 90-an, ia mengobrol bersama di gedung PBNU. Saat itu, Gus Dur memegang uang 100 perak warna merah, dan membolak-balikkannya. Ini merupakan uang terakhir yang dipegangnya. Meskipun demikian, Gus Dur bertutur, “Kayaknya ada yang mau datang, mau kasih uang.”
Benar, tak lama kemudian, ada seseorang yang memberi bantuan 75 juta rupiah dalam bentuk cek. Tapi, begitu ia keluar, sudah ada orang yang menunggu untuk meminta bantuan dengan jumlah yang sama, 75 juta rupiah. Langsung saja, uang tersebut berpindah tangan.
“Yang membedakan Gus Dur dengan orang lain, beliau seperti talang, menjadi tempat air mengalir, sementara orang lain itu ibarat kolam. Kalau mendapat rejeki diperuntukkan buat dirinya sendiri. Kalau talang, selalu bersih, kalau kolam, selalu ada lumutnya,” tandasnya.
Ia mengaku susah untuk bisa mengikuti jejak Gus Dur. Suatu hari, ia diajak Gus Dur untuk berkeliling Jakarta. Berangkat dari gedung PBNU subuh-subuh, mereka berputar-putar untuk menghadiri berbagai acara sampai jam 9 malam, ia mengantar Gus Dur di bandara yang menuju Surabaya. Esoknya, ia ditelepon untuk menemaninya selama di Surabaya, tapi ia mengaku fisiknya sudah tidak kuat.
“Mengikuti Gus Dur secara fisik saja sudah tidak mampu, apalagi secara rohani,” akunya.
Karena hidupnya selalu memikirkan orang lain inilah yang menyebabkan hidup Gus Dur akhirnya juga dipikirkan oleh orang lain, yang tahu bahwa Gus Dur mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan.
Penulis: Mukafi Niam
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
5
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
6
Buka Workshop Jurnalistik Filantropi, Savic Ali Ajak Jurnalis Muda Teladani KH Mahfudz Siddiq
Terkini
Lihat Semua