Jakarta, NU Online
Berbagai persoalan menyangkut pemilihan umum 2019, seperti kasus yang terbaru, yakni surat suara yang tercoblos di Malaysia, memunculkan anggapan adanya pihak-pihak tertentu yang berupaya mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Merespons persoalan tersebut, Akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah A Bakir Ihsan berharap KPU dapat segera menjelaskannya secara terbuka. Dengan begitu, soal adanya upaya delegitimasi atau tidak oleh pihak-pihak tertentu akan terungkap.
"Rentetan masalah yang menyangkut KPU atau pelaksanaan pemilu harus diurai secara transparan dan jernih," kata Bakir kepada NU Online, Jumat (12/4) malam.
Dikatakan Bakir, KPU harus menjelaskan dengan bukti-bukti yang akurat, lalu disampaikan ke publik. Tujuannya agar pemilih bisa mengetahui masalah yang sesungguhnya.
Ia tidak menginginkan adanya upaya delegitimasi dari pihak-pihak tertentu, karena menurutnya membahayakan banyak hal, terutama yang paling ekstrem, ialah delegitimasi terhadap demokrasi. Ia menjelaskan, kalau demokrasi terdelegitimasi, maka bisa muncul tawaran alternatif sistem pemilihan sebagaimana yang sering diwacanakan, seperti sistem khilafah.
Menururnya, sekalipun organisasi Hibut Tahrir Indonesia (HTI) telah dilarang oleh pemerintah, tetapi pikiran mantan anggotanya tentang khilafah tidak serta merta dapat dihilangkan.
Pada kesempatan tersebut, ia mengimbau masyarakat agar memperkuat literasi politik agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak terverifikasi. Hukum juga dinilainya perlu lebih ditegakkan terkait informasi yang merugikan agar masyarakat tidak mudah menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
"Perlu penegakan hukum sehingga masyarakat lebih hati-hati dan ada efek jera," ucapnya.
Selain itu, media dan masyarakat sipil yang mempunyai perhatian terhadap demokrasi juga harus terus bergerak untuk memastikan demokrasi semakin kuat dan terkonsolidasi. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)