Nasional

Soal Pemberitaan Terorisme, Media Massa Dinilai Masih Elitis

NU Online  ·  Rabu, 25 Mei 2016 | 23:24 WIB

Jakarta, NU Online
Agus Sudibyo, Pengajar Komunikasi Massa di Akademi Televisi Universitas Indonesia (UI), mengungkapkan penyebab mengapa pihak korban jarang diberitakan dalam pemberitaan isu terorisme. Menurutnya, hal itu karena media massa lebih mempertimbangkan siapa yang diberitakan.

Di Indonesia, secara umum pemberitaan mengacu pada names make news (nama adalah berita). Apabila korban adalah orang awam, bukan tokoh ternama, artis, pejabat, atau pengamat, pemberitaan tidak menyebut atau mengutamakan sudut pandang tokoh yang diberitakan.

Agus menyampaikan ha tersebut saat menjadi pembicara dalam sesi “Realitas Media dalam Peliputan Terorisme” pada kursus singkat “Penguatan Perspektif Korban  dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” di Hotel Ibis Budget, Menteng Jakarta Pusat, Rabu (25/5) siang.

Baca: Berita Terorisme dari Sudut Pandang Korban Masih Minim

Menurut Agus, minimnya pendekatan sudut pandang korban dalam pemberitaan isu terorisme juga disebabkan karena beberapa permasalahan lain, yaitu elitisme dalam pemilihan isu, elitisme dalam pemilihan sumber berita, jurnalisme pernyataan (statemen), sehingga wartawan (dan media massa) melakukan konstruksi realitas elite, hingga timbul bias kelas menengah.

Terkait dengan elitisme dalam pemilihan sumber berita, Agus mengungkapkan, “Seharusnya media massa memberikan ruang bagi unordinary people untuk bicara. Apa nilai berita harus terkait dengan nama besar? Maka korban, tidak pernah bisa muncul atau sulit dapat ruang kecuali untuk berita human interest.”

Agus meneruskan elitisme dalam pemilihan isu sering terjadi misalnya dalam pemberitaan kasus korupsi yang diberitakan adalah yang melibatkan orang besar, atau angka korupsinya yang besar dan terjadi di pusat kekuasaan. Sangat mungkin kasus korupsi terjadi di semua lapisan masyarakat, walaupun angka korupsi itu kecil, jika dijumlahkan menimbulkan angka korupsi yang tinggi.

Sementara jurnalisme statemen dicontohkan dengan adanya pemberitaan yang hanya berisi pernyataan-pernyataan. “Media massa pun terpola dalam jurnalisme cangkem,” kata pria kelahiran Malang, Jawa Timur ini.

Agus mengaku tidak bermaksud menyalahkan pihak-pihak tertentu. Akan tetapi pola yang terjadi itu, tanpa disadari mengonstruksi pers menjadi realitas elite. Kalaupun masalah sembako dibicarakan, misalnya itu dari sudut pandang kaum elite. Dan inilah bentuk paradoks dari media.

Selanjutnya, sambung Agus, wartawan mengalami bias kelas. Dari sisi kesejahteraan wartawan di Indonesia masuk kelas menengah ke bawah. Sedangkan dari sisi intelektualitas wartawan adalah dari kelas menengah ke atas. Akibatnya, isu-isu yang disebarkan ke publik adalah isu kelas menengah ke atas.

Mengkritisi penyebutan korban dalam pemberitaan isu terorisme, Agus memaparkan korban yang dimaksud adakah korban atas aksi terorisme atau korban atas pemberitaan terorisme.

Disebutkan Agus, pemberitaan di media juga dapat menciptakan korban. Misalnya saat media massa televisi menampilkan istri atau anak dari pelaku terorisme. Istri atau anak pelaku terorisme itu kemudian dikucilkan dari masyarakat setelah penayangan.

Media massa harus sadar dan hati-hati betul apa dampak dari pemberitaan. Jangan sampai perlombaan media massa untuk menjadi yang pertama dalam pemberitaan, justru menimbulkan kekonyolan dan permasalahan baru, saran Agus. (Kendi Setiawan/Mahbib)