Soal Boikot Produk Israel, Akademisi Jelaskan Pengaruh Fatwa MUI ke Masyarakat
NU Online · Selasa, 21 November 2023 | 17:00 WIB
Jakarta, NU Online
Sejak perang Israel dan Palestina meletus di Gaza, seruan boikot produk pro-Israel terus menguat di jagat maya. Warganet dari banyak negara beramai-ramai menyerukan gerakan boikot, baik produk maupun jasa yang terafiliasi Israel.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Dalam fatwa tersebut, tertuang pernyataan bahwa mendukung perjuangan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.
Selain itu, fatwa MUI memuat butir putusan bahwa mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel, baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram.
Fatwa tersebut juga memuat rekomendasi yang mengimbau umat Islam untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme.
Merespons hal tersebut, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Hubungan Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar menjelaskan soal pengaruh Fatwa MUI kepada masyarakat. Ia menilai, penerjemahan fatwa terkait pemboikotan produk lebih pada rekomendasi dalam diktum fatwa.
"Jadi, kalau bunyi fatwanya sebetulnya adalah mendukung agresi Israel terhadap Palestina, baik langsung maupun tidak langsung itu hukumnya haram," ujar Fariz kepada NU Online, Jumat (17/11/2023).
Menurutnya, fatwa tersebut lebih bersifat rekomendasi, namun memberikan penekanan bahwa mendukung agresi Israel, baik langsung maupun tidak langsung, dianggap hukumnya haram.
“Tafsir itu juga tidak salah diterjemahkan oleh masyarakat seperti itu,” kata akademisi yang mengambil topik Kekerasan Linguistik pada Fatwa untuk penelitian disertasinya itu.
Dalam diktum fatwa, lanjutnya, MUI memberikan imbauan kepada masyarakat untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi atau penggunaan produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Meskipun tafsir ini dapat dianggap sebagai bentuk boikot, Fariz menyatakan bahwa hal tersebut masih termasuk dalam rekomendasi yang dikeluarkan MUI.
Sementara fatwa sendiri bersifat legal opinion, yang artinya merupakan opini terhadap sebuah peristiwa. Fariz menyebut bahwa fatwa tidak bersifat mengikat terhadap masyarakat.
“Karena sifatnya hanya legal opinion, dia tidak memiliki daya ikat yang bersifat keharusan terhadap masyarakat,” ungkap Fariz.
"Jadi, siapa yang ikut juga silakan, siapa yang tidak ikut juga silakan. Yang tidak setuju dengan fatwa ini juga bisa mencari alternatif fatwa lain yang mungkin dirasa lebih cocok bagi orang yang meminta fatwa," pungkas Doktor Ilmu Humaniora jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul disertasi Kuasa Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Ahmadiyah: Analisis Wacana Kritis itu.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua