Nasional

Sisdiknas Gerus Kekhasan Lokal Pesantren

NU Online  ·  Rabu, 18 April 2012 | 11:23 WIB

Jakarta, NU Online
Di antara faktor dekandensi kualitas generasi di Tanah Air dapat ditelusuri melalui jalur pendidikan. Tawaran sistem pendidikan nasional selama ini dianggap belum mampu menyuguhkan generasi seunggul  para tokoh masa lalu yang justru lahir dari pendidikan non-sekolah, seperti pesantren, padepokan, dan keasramaan.

<>

Demikian dinyatakan penulis buku dan budayawan Agus Sunyoto, Selasa (17/4) malam, di gedung PBNU. “Sistem pendidikan nasional kita merupakan warisan kolonial yang mengarahkan anak bangsa semakin kehilangan daya kreatifitasnya,” tambahnya.

Dampak yang paling terasa dimulai dari penggerusan nilai dan materi yang menjadi ciri khas kekayaan pesantren. Sedikit demi sedikit kekhasan lokal pesantren mengalami penyusutan karakter secara drastis lantaran kekakuan birokrasi pendidikan yang dibuat pemerintah.

Menurut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) Masduki Baidlawi, penggerusan paling nyata terjadi terutama sejak diterbitkan SKB Tiga Menteri era Orde Baru yang memaksa madrasah dan pesantren mengikuti alur kurikulum nasional.

“Kelemahan mendasar dari kurikulum nasional sejak dulu hingga sekarang adalah wataknya yang tidak mampu menciptakan entrepreneur dari lulusannya. Lulusan diarahkan kepada mental jadi pegawai,” katanya.

Setelah reformasi, lanjut Masduki, pemerintah ingin mengembalikan otonomi pendidikan melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sayangnya, kebijakan ini seolah hiasan belaka karena dalam praktiknya pemaksaan-pemaksaan pendidikan masih terus terjadi. Pemaksaan tersebut tampak pada kebijakan Ujian Nasional, pengakuan hanya pada ijazah sekolah formal, dan lain-lain.

“Itu sebenarnya kerugian yang tidak disadari oleh pimpinan-pimpinan pesantren dari kurikulum itu,” tandasnya.



Penulis       : Mahbib Khoiron