Nasional

Singgung Umat Islam, Sukmawati Mestinya Peka saat Bicara di Hadapan Publik

Sen, 18 November 2019 | 12:15 WIB

Singgung Umat Islam, Sukmawati Mestinya Peka saat Bicara di Hadapan Publik

Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad (Foto; IG Rumadi_R)

Jakarta, NU Online
Sukmawati Soekarnoputri kembali membuat umat Islam Indonesia merasa tersakiti dengan penyampaiannya. Pada Senin (11/11) lalu, ia membandingkan ayahnya, Sukarno, dengan Nabi Muhammad SAW di sebuah forum diskusi. Tak ayal, ada kelompok yang mengatasnamakan umat Islam hendak melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian.

Melihat hal tersebut, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad menyatakan, Sukmawati tidak perlu dilaporkan. Menurutnya, Sukmawati cukup meminta maaf saja.

“Tidak perlu dilaporkan polisi, Sukmawati mestinya memyadari kekeliruan logikanya dan minta maaf. Itu sudah cukup,” kata Rumadi di Jakarta, pada Senin (18/11).

Mestinya, kata Rumadi, dia memahami dan mempunyai kepekaan sosial, memahami psikologi masyarakat muslim Indonesia. Pasalnya, meski tidak bermaksud menghina Nabi Muhammad, akan tetapi ungkapan tersebut tidak ada manfaat apa pun, kecuali hanya memancing kemarahan orang.

Rumadi melihat bahwa membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Sukarno sebagaimana dinyatakan Sukmawati tidak tepat. “Pernyataan Sukmawati itu ngawur dan tidak pada tempatnya. Membandingkan Nabi Muhammad dan Sukarno itu perbandingan yang tidak pada tempatnya,” katanya.

Apalagi, lanjutnya, seolah-olah Soekarno lebih hebat dari Nabi Muhammad. Hal itulah yang yang memancing kemarahan banyak orang. “Itu ungkapan yang pasti akan memancing kemarahan banyak orang. Sukmawati seharusnya bijak dengan hal seperti ini,” katanya.

Melihat kasus demikian ini terulang, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyampaikan tiga hal penting yang perlu dijadikan prinsip oleh masyarakat ketika berbicara di hadapan publik. Pertama, apa yang disampaikannya merupakan suatu kebenaran yang sesuai data, fakta, dalil, dan pengetahuan.

Kedua, pastikan bahwa apa yang dibicarakan tidak menyinggung entitas dan menyakiti perasaan orang lain. Sebaliknya, harus membuat ketenangan di tengah masyarakat. Terakhir, pembicaraannya harus memberikan pencerahan kepada orang lain.

Kiai Cholil juga mengingatkan bahwa lisan manusia sangat tajam. Artinya, harus lebih hati-hati ketika berbicara, terlebih di hadapan khalayak. “Maka, lebih berhati-hati karena ucapan itu lebih tajam daripada pedang,” pungkasnya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi