Kendi Setiawan
Penulis
Perbukitan di sisi kanan pantai barat Kota Palu, tampak gelap, Kamis (18/10) malam. Lampu-lampu listrik di perumahan di bukit ini belum menyala sejak gempa bumi menimpa 28 September silam.
Semakin memasuki bukit, suasana gelap makin terlihat. Hampir setengah jam sejak meninggalkan Kota Palu, dua buah mobil Tim NU Peduli—yang satu berupa ambulans, dan satunya membawa tenaga medis—berbelok memasuki ‘gerbang’ tanah lapang.
Terlihat tenda-tenda pengungsian berdiri di area yang aslinya lahan perkebunan. Pada malam hari setelah gempa dan tsunami, warga Kelurahan Layana Indah yang rumahnya berada di bibir pantai Palu, mengungsi ke wilayah ini.
Hampir tiga pekan sudah mereka harus hidup dalam suhu rata-rata 32 derajat Celcius di siang hari, serta malam hari yang dingin dan gelap. Cahaya lampu yang menerangi tenda-tenda di sana, baru malam ini mereka nikmati setelah NU Peduli mengirimkan genset pada siang harinya.
Begitu tim dokter turun, dua orang pria segera menggelar terpal di ‘halaman’ sisi depan tenda-tenda pengungsian. Warga lainnya memberi tahu orang-orang di dalam tenda bahwa malam itu, ada layanan kesehatan yang bakal memeriksa kesehatan mereka.
Beberapa warga yang baru menjalankan shalat Isya di salah satu tenda, berbaur bersama pengungsi yang datang satu per satu mendekati titik layanan kesehatan NU Peduli. Petugas kesehatan duduk sesuai bagian atau tugas mereka. Ada yang mencatatkan pendaftaran pasien, memeriksa tekanan darah, konsultasi, analisa penyakit, pencatatan resep, dan distribusi obat.
Tim medis yang datang adalah relawan NU Peduli gabungan dari beberapa daerah. Hardadi Airlangga, dokter spesialis penyakit dalam dari Unisma Malang datang bersama dokter umum; ditambah bidan dari PWNU Sulawesi Selatan. Mereka dibantu pula oleh relawan dari Makasar dan Kota Palu.
Dengan telaten Dokter Hardadi dan timnya melayani para warga. Layanan kesehatan di tempat darurat tentu tidak semewah di Puskesmas, klinik, apalagi rumah sakit. Di sini, pendekatan kepada warga terlihat sekali dari tim dokter yang bertugas.
Ketelatenan tim dokter juga dilakukan dengan mendatangi warga di rumah-rumah ataupun pengungsian lainnya. Layanan ini diberlakukan apabila warga tersebut berada di titik yang jauh dari titik layanan bersama, tetapi warga tersebut tidak bias berjalan ke lokasi layanan.
Sepanjang perjalanan layanan ke bukit di Kelurahan Layanan Indah, NU Online mengikuti tim dokter yang mendatangi warga di Kota Palu dan pengungsian di tepi jalan Trans Palu, tak jauh dari Universitas Tadulako.
Siti Nuranah, salah satu dokter yang turut memberikan pelayanan, mengatakan banyak dari warga yang mengalami sakit diare. Buruknya sanitasi diyakini menjadi penyebab utamanya.
“Di sini tidak ada tempat buang air besar. Bantuan air hanya untuk minum,” kata Tati, salah satu pengungsi.
Tati bahkan mengaku dirinya sudah dua hari tidak mandi. “Kemarin ke rumah saudara saya di Sambo, Kabupaten Sigi. Mandi di sana. Sampai sekarang belum mandi lagi,” kata pria nelayan ini sambil menunjukkan tangannya yang tampak berdebu.
Jarak ke rumah saudaranya mencapai 70 kilometer dari lokasi tersebut, sehingga ia tak bisa datang setiap hari ke rumah saudaranya. Tati mengatakan dari rumah saudaranya dia bawakan oleh-oleh berupa buah-buahan pisang.
“Ini pisang dari saudara saya,” katanya menunjukkan setumpuk pisang di dekat tungku dapur umum pengungsian. Saat NU Online menemuinya, Tati memang tengah membuat teh hangat di dapur umum setelah mengikuti layanan kesehatan.
Sama dengan beberapa warga lainnya, Tati juga mengalami sakit diare bahkan sejak hari-hari pertama setelah gempa dan tsunami.
“Tidak tahu ini salah makan, kecapekan, apa memikirkan saudara yang belum ditemukan terbawa tsunami. Pokoknya mencret saja,” jujurnya.
Menurut Tati saudaranya turut menjadi pengisi acara pada Festival Pesona Palu Namoni. Pada festival tersebut, Umar, adik ipar Tati akan berperan menggambarkan kehidupan nelayan.
“Dia sudah pakai baju nelayan, kan ditampilkan di salah satu panggung,” tutut Tati.
Tati mengaku saat ini belum tahu harus berbuat apa dalam kondisi ekonomi yang lumpuh. Sebagian besar warga di pantai Kota Palu bekerja sebegai nelayan tetapi Tati sendiri mengaku takut melaut.
“Trauma melihat air laut yang tinggi,” ujarnya.
Sementara mereka yang menjadi buruh belum dipekerjakan lagi karena usaha-usaha juga masih lumpuh.
Tati mengaku terhibur bila datang para relawan bukan hanya yang membagikan bantuan logistik. Keramahan dan perhatian relawan, termasuk tim dokter NU Peduli dianggapnya sebagai penghilang stres dan derita warga pengungsi.
Ia pun semakin menyadari bahwa bencana yang tengah mereka tanggung adalah ujian dari Allah yang harus mereka jalani. Tati berbesar hati bahwa ia dan warga lainnya mampu menghadapi semua ujian ini dan mereka akan dapat bangkit.
“Badai pasti berlalu,” kata dia.
Hampir jam sepuluh malam, tim dokter NU Peduli menuruni bukit pengungsian di Layana Indah. Tampak rembulan bersinar di atas langit Kota Palu.
Cahayanya yang menembus kabut dan pekat langit Palu, seakan-akan menjadi titik terang ditemukannya harapan Tati dan ratusan ribu warga Sulawesi Tengah. (Kendi Setiawan)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
Terkini
Lihat Semua