Nasional

Seperti Tongkat Nabi Musa, Harapan Kiai Miftach ke NU

Kam, 5 Agustus 2021 | 09:00 WIB

Seperti Tongkat Nabi Musa, Harapan Kiai Miftach ke NU

Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar bersama pengurus PCINU Mesir usai pelantikan, Rabu (4/8/2021). (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengingatkan bahwa kelahiran NU atas restu para wali. Hal itu ditandai dengan penyerahan tongkat dari Syaikhona Kholil Bangkalan kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari melalui KH As’ad Syamsul Arifin. Saat penyerahan itu, Kiai Kholil menyampaikan ayat tentang tongkat Nabi Musa yang termaktub dalam Surat Toha.

 

“NU ini bisa menjadi tongkatnya Nabiyullah Musa, punya kesaktian seperti kesaktiannya tongkat Nabi Musa. Dalam tongkat ini, ada berbagai makna, falsafah kehidupan,” kata Kiai Miftach usai melantik PCINU Mesir di Kairo, Rabu (4/8/2021).

 

Kiai Miftach menjelaskan bahwa ayat tersebut berkisah mengenai perbincangan Allah dan Nabi Musa. Pada saat itu, Nabi Musa menyampaikan bahwa tongkat tersebut ia gunakan sebagai sandaran, pegangan, bahkan untuk mengais dedaunan untuk binatang ternaknya, dan masih banyak lagi kebutuhannya.

 

Lalu, dalam ayat tersebut juga, Allah perintahkan untuk melemparkan tongkat. Berubahlah tongkat itu menjadi ular naga besar sehingga Nabi Musa grogi. Allah perintah ambil kembali dan kembali ke bentuk semula.

 

"Bahwa NU harus bisa seperti tongkat itu, menjadi pemimpin, bersistem komando. Selama ini, tongkat ini menjadi lambang komando, di samping kepentingan-kepentingan besar lain," tegas Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah, Surabaya, Jawa Timur itu.

 

Dalam kesempatan itu, Kiai Miftach juga menegaskan bahwa NU merupakan organisasi masyarakat keagamaan. Artinya, organisasinya yaitu ahlussunnah wal jamaah, keagamaan dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan masyarakat terbentuk dengan mabadi khaira ummah, yaitu alsh-shidqu (benar), al-wafa’ bil ‘ahd (menepati janji), at-ta’awun (tolong-menolong), al-adalah (keadilan), dan istiqamah (konsistensi, keteguhan).

 

"Kalau kita sudah miliki semua (mabadi khaira ummah), dan sekarang, dunia kurang menempatkan kecerdasan dan kepintarannya di puncak, justru kebenaran dan kejujuran ini sudah mulai menggeser. Yang dibutuhkan pemimpin itu sekarang jujur dan bener. Jadi orang itu bener dan pinter," katanya.

 

Selain itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu juga mengingatkan kepada segenap pengurus dan Nahdliyin Mesir, bahwa kehadiran mereka di Indonesia sangat dinantikan dalam rangka pengembangan paham wasathiyah. Keikutsertaan dalam NU dan belajar di negeri yang dikenal sebagai pusat peradaban keilmuan ini bukan sekadar ikut-ikutan belaka.

 

Kiai Miftach mengutip sebuah hadist, jangan kalian menjadi bangsa imma’ah, yaitu orang yang manakala orang lain menyatakan atau melakukan baik mereka juga tidak ketinggalan. "Ini orang yang tidak punya prinsip kehidupan, tidak punya pegangan. Ini penyakit latah, ikutan-ikutan," katanya.

 

Orang NU harus meneguhkan diri, menguatkan jiwanya, dan menunjukkan pendiriannya yang kokoh. Kalau orang melakukan kebaikan, tentu harus melakukan kebaikan juga sebagai fastabiqul khairat. Namun, jika orang melakukan kejelekan, tentu tidak boleh mengikuti.

 

"Kebanyakan kita masih latah. Masih grudag-grudug, belum sistemik. Kalau ini dibiarkan, mungkin tidak terasa tiba-tiba habis," ujar Kiai Miftach.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan