Nasional

Seminar Nasional Bersarung

NU Online  ·  Kamis, 6 April 2017 | 07:32 WIB

Jakarta, NU Online
Kain sarung dari berabad-abad lalu bukan hanya menjadi simbol perlawanan kolonialisme, tetapi juga telah menjelma menjadi simbol dan identitas budaya Nusantara. Selain itu, sarung yang identik dengan santri juga mampu membentuk akhlak luhur sebab secara nyata digunakan untuk beribadah, ngaji, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.

Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional Sarung Nusantara yang digelar Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU, Kamis (6/4) di Gedung PBNU Jakarta bertajuk Sarung sebagai Identitas Budaya Indonesia. Dalam acara tersebut, bukan hanya sebagian peserta seminar yang mengenakan sarung, tetapi sarung juga mengikat di pinggang para narasumber utama yang mengisi acara itu.

LTM PBNU mengundang narasumber di antaranya Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto, Budayawan yang juga Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, dan Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Imam Suprayogo. Mereka secara bergantian mengurai makna sarung dari berbagai perspektif.

Imam Suprayogo yang menjadi pembicara pertama mengungkapkan bahwa sarung mempunyai banyak fungsi ketika dipakai oleh seseorang. Ia mencontohkan santri di pesantren yang selama ini lekat dengan sarung di berbagai kegiatannya di pesantren.

“Jika sudah memakai sarung, maka tidak perlu memakai celana karena ia sudah bisa menggantikan celana. Sarung juga bisa menggantikan selimut, maka dari itu tidak ada santri yang memakai selimut. Sarung itulah selimut mereka,” papar mantan Rektor UIN Malang ini.

Ia menerangkan, sarung yang dipakai santri dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak hanya berhasil menjadikan identitas budaya, tetapi juga mampu menumbuhkan akhlak baik karena selain sarung juga dipakai oleh orang-orang mulia seperti kiai, ia juga mampu menundukkan santri dari hal-hal negatif sebab identitas kesantriannya yang melekat saat memakai sarung.

Berbeda dengan Imam Suprayogo, Dedi Mulyadi mengurai sarung secara filosofis, terutama dalam perspektif Budaya Sunda. Dia mengartikan sarung dengan mengurai kata “Sa” dan “Rung”.

“Sa dalam bahasa Sunda berarti tidak terbatas, berlebihan. Ini sifat dasar manusia yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Sudah mempunyai sertifikat tanah, tetapi manusia terus ingin memperlebar kepemilikan tanahnya,” ujar Kang Dedi, sapaan akrabnya.

Begitu juga dengan air, imbuhnya, manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyaknya, padahal yang diminum hanya dua gelas. Menurutnya, udara dan api juga sama yang jika dimanfaatkan atau dikuasai secara belebihan akan mendatangkan bencana.

“Sebab itu diteruskan dengan kata ‘Rung’, artinya dikurung. Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung,” jelas Kepala Daerah mempunyai misi penguatan seni dan budaya Indonesia dalam tata kelola pemerintahannya ini.

Sementara itu, Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto memaparkan sarung secara historis. Ia menungkapkan bahwa sebetulnya sarung lahir dari bangsa Yaman. Tetapi bangsa Indonesia berhasil memodifikasi sarung sesuai dengan identitas lokal masing-masing dari orang-orang Nusantara sejak dulu.

Sebab itu, kain sarung yang lahir dari sejumlah suku di Indonesia mempunyai nama-nama yang berbeda seperti di antaranya Songket yang banyak diproduksi di sejumlah daerah, Ulos di Sumatera Utara, Tapis di Lampung, dan sarung tenun yang terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. (Fathoni)