Bogor, NU Online
The Wahid Institute kembali menggelar Sekolah Perdamaian Gus Dur. Kegiatan yang sudah berlangsung 3 tahap ini diikuti oleh 15 peserta dari berbagai organisasi kepemudaan di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Rabu-Jumat (18-20/5) lalu di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Peserta di tahap ketiga ini merupakan hasil seleksi dari Sekolah Perdamaian Gus Dur tahap 1 dan 2 yang telah dilaksanakan di tahun lalu.
Kepala Sekolah Perdamaian Gus Dur tahap ketiga, Gamal berharap bahwa peserta yang telah melalui dua tahapan seleksi ini bisa menjadi kunci dari agen perdamaian di daerah dan wilayah masing-masing yang rentan soal konflik sosial dan keagamaan.
Di hari pertama, Gamal membekali peserta dengan materi rencana peliputan. Dimana peserta ditugasi membuat proposal liputan yang mendalam dan detail termasuk merinci waktu yang dibutuhkan untuk melakukan peliputan di lapangan nantinya. Gamal juga membeberkan tujuan diadakannya kegiatan ini.
“Sebenarnya Gus Dur School for Peace 3 dan yang sebelumnya itu satu kesatuan, ini tahap terakhir memberikan teori-teori yang dibutuhkan peneliti untuk turun kelapangan nanti,” ujar Gamal. Jadi materi yang diberikan juga berurutan mulai dari mencari data dengan peliputan, konten damai, strategi advokasi damai, hingga meresolusi konflik.
Dalam materi Creative Fund Raising and Proposal, pemateri lain Taufik Renaldi menekankan pentingnya untuk percaya kepada ide sendiri. “Tidak ada ide yang sia-sia, yang terpenting kepercayaan dari diri kita sendiri bahwa ide kita bagus. Yang sering terjadi adalah ketidakpercayaan kita yang menjadi mental block untuk merealisasikan ide tersebut,” kata Taufik.
Tak luput pula Taufik menambahkan bahwa yang terpenting dari pengajuan proposal adalah ide yang unik, realistis dan bermanfaat untuk masyarakat atau tidak.
Puncaknya, peserta diberi materi mengenai analisa dinamika konflik oleh Pakar Psikologi Perdamaian UI, Ichsan Malik. Ketika terjun kelapangan sebagai peneliti dan menganalisa suatu konflik peserta diharapkan bisa membangun trust building atau membangun kepercayaan masyarakat kepada mereka. Selain itu, sikap atau positioning peneliti juga penting, yaitu ketika mampu memposisikan diri di tengah masyarakat agar proses penyelesaian masalah di dalam konflik bisa tercapai.
“Peneliti harus mengacu pada prinsip imparsial, ketika diminta menjadi mediator maka harus melepaskan diri dari kasusnya. Kita melihat kasus sebagai penyakit dan tidak boleh double standard, tidak mencampur berbagai hukum seperti hukum agama, nasional dan internasional, tapi harus dipilih salah satunya,” ujar Ichsan ketika salah seorang peserta bertanya mengenai cara untuk menghindari kecenderungan memihak satu kelompok dalam suatu konflik.
“Dalam menyelesaikan konflik, bekerja sama dalam kelompok adalah mutlak, jadi tidak ada yang namanya superman, tapi superteam,” pungkasnya. (Dwi Niar Damayanti/Fathoni)