Nasional

Sarbumusi Jadi Tim PBNU untuk Uji Materi UU Cipta Kerja

Sen, 26 Oktober 2020 | 07:00 WIB

Sarbumusi Jadi Tim PBNU untuk Uji Materi UU Cipta Kerja

DPP K-Sarbumusi sendiri akan dilakukan judicial review dengan dua hal. Pertama uji formil terkait proses legislasi UU Cipta Kerja yang terkesan tidak transparan dan mengabaikan partisipasi publik.

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden Dalam Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko menegaskan, pihaknya akan tetap menempuh jalur konstitusional untuk menggugat UU Cipta Kerja.

 

"Kita juga menjadi salah satu bagian yang diminta Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menyiapkan judicial review, khusus klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja," kata Sukitman, kepada NU Online melalui sambungan telepon, pada Senin (26/10) siang.

 

"Keputusan organisasi (Sarbumusi) ada dua hal yang mesti kita lakukan. Pertama, kita akan melakukan judicial review atas nama DPP K-Sarbumusi. Kedua, kita ikut tim PBNU. Makanya nanti ada beberapa pasal yang kita pilah," tambah Sukitman.

 

Selain itu, di DPP K-Sarbumusi sendiri akan dilakukan judicial review dengan dua hal. Pertama uji formil terkait proses legislasi UU Cipta Kerja yang terkesan tidak transparan dan mengabaikan partisipasi publik.

 

Sebagai informasi, untuk melakukan uji formil ini dasar hukumnya adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5, 88, dan 96. Selanjutnya bisa pula digunakan Pasal 51A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

 

Kedua, DPP K-Sarbumusi juga akan melakukan uji materiil. Menurut Sukitman, ada beberapa pasal yang dianggap krusial sehingga harus dilakukan judicial review ke MK. Pertama, pasal 59 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja.

 

Padahal kata Sukitman, pasal 59 ini adalah jantungnya serikat buruh karena memuat aturan soal tenaga kerja kontrak. Namun pasal tersebut tidak dicantumkan alias dihapus. Dengan demikian, pemerintah dinilai tidak mengatur secara rinci soal batas waktu pembaruan tenaga kerja kontrak.

 

"Kemudian (akan judicial review) pasal 63, 64, dan 66. Jadi ada empat pasal yang akan kita judicial review," terang Sukitman.

 

Soal draf mana yang menjadi rujukan Sarbumusi untuk melakukan judicial review, Sukitman menjelaskan pihaknya mendasarkan pada naskah dari PBNU yang didapat langsung dari Menteri Sekretariat Negara (Mensetneg) Pratikno, beberapa waktu lalu.

 

"Itu agak lebih sahih karena (diterima) langsung dari Pak Pratikno ke PBNU. Makanya itu yang kita pakai sementara ini. Tapi terkait (banyaknya) versi itu hanya beda halaman saja, sementara untuk klaster ketenagakerjaan tidak berubah. Itu yang sedang kami siapkan," jelasnya. 

 

Rencananya, Sarbumusi akan melakukan judicial review setelah UU Cipta Kerja diundangkan dan diteken oleh Presiden Joko Widodo. "Karena kan kita nanti yang dirujuk nomor UU-nya tentang apa pasal berapa saat nanti setelah menjadi lembar negara. Nomor itu yang menjadi rujukan untuk judicial review ke MK," tuturnya.

 

Penjelasan PSHK Indonesia untuk mengajukan gugatan ke MK

Lantaran UU Cipta Kerja ini banyak yang menilai bermasalah dalam proses pembentukannya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menyatakan dapat diajukan pembatalan melalui proses uji formil di Mahkamah Konstitusi.

 

"UU yang proses pembentukannya melanggar prinsip-prinsip pembentukan peraturan, seperti keterbukaan dan partisipasi masyarakat dapat diajukan pembatalan melalui proses uji formil di Mahkamah Konstitusi," jelas PSHK Indonesia dalam utas di akun twitter @PSHKIndonesia, seperti dikutip NU Online, pada Senin (19/10) pekan lalu.

 

Sedangkan dasar hukum yang dapat dijadikan landasan adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5, 88, dan 96. Selanjutnya bisa pula digunakan Pasal 51A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Kemudian, PSHK Indonesia juga menjelaskan bahwa setelah sebuah rancangan UU disetujui menjadi UU oleh DPR bersama Presiden, UU itu sudah tidak boleh diedit. DPR memiliki waktu seminggu untuk mempersiapkan hal-hal terkait teknis penulisan sebuah rancangan untuk bisa ditandatangani presiden.

 

"Tapi, dalam waktu tersebut tidak boleh dilakukan perubahan apa pun terhadap isi UU," demikian bunyi cuitan PSHK Indonesia.

 

Dasar hukum terkait itu termaktub dalam Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lebih lanjut, berdasarkan pasal 88 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pemerintah dan DPR seharusnya menyebarluaskan naskah rancangan UU Cipta Kerja selama proses pembentukannya menjadi UU.

 

"Termasuk pada saat tahap penyusunan dan pembahasan untuk memberikan informasi dan mendapatkan masukan dari masyarakat. Jika masyarakat kesulitan memperoleh naskah resminya, artinya pemerintah dan DPR menyalahi keharusan tentang penyebarluasan tersebut," ungkap PSHK Indonesia. 

 

PSHK Indonesia menyebut bahwa MK bisa menguji UU secara formil untuk dilakukan dalam menilai apakah proses pembentukan suatu  UU bertentangan dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan perundangan-undangan. Jika MK mengabulkan uji formil maka keseluruhan UU itu akan dinyatakan batal secara hukum.

 

Selain itu bisa juga dilakukan uji materiil untuk menilai apakah sebagian atau seluruh ketentuan dalam suatu UU bertentangan dengan konstitusi. Jika MK mengabulkan uji materiil, ketentuan-ketentuan yang diuji tersebut menjadi tidak mengikat.

 

Terakhir, PSHK Indonesia menjelaskan hubungan formal UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang  Ketenagakerjaan tetap berlaku kecuali pasal-pasal yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja," tutup PSHK Indonesia dalam utas di akun twitternya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan