Nasional

Saran NU Terkait Skandal "Panama Papers"

NU Online  ·  Rabu, 6 April 2016 | 22:02 WIB

Jakarta, NU Online
Beberapa waktu ini publik dikejutkan dengan pemberitaan tentang adanya sejumlah tokoh nasional dan ratusan perusahaan yang masuk dalam daftar Panama Papers. Panama Papers yang berisi kumpulan 11, 5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh Mossack Fonseca, perusahaan penyedia jasa asal Panama. Dokumen tersebut berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri, termasuk identitas pemegang saham dan para direkturnya. 

Mossack Fonseca sebagai penyedia jasa pembentukan perusahaan di negara lain, pengelolaan perusahaan luar negeri, dan manajemen aset. Perusahaan ini juga  membantu klien membentuk perusahaan dalam yurisdikasi bebas pajak (offershore). Dengan demikian perusahaan yang menjadi klien Mossack Fonseca berupaya menghindari pembayaran pajak. 

Di Indonesia, pajak adalah hal penting sebagai wujud keadilan sosial. Selain itu pajak juga berfungsi sebagai anggaran atau penerimaan (budgetair). Pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri pada APBN.

Lantas bagaimana bila ada atau bahkan banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak? Tentu akan sangat merugikan negara.
Dihubungi NU Online pada Rabu (6/4), pengamat ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, mengatakan, rekening offshore (perusahaan bebas pajak) dan shell company (perusahaan cangkang) belum tentu ilegal dan melanggar hukum. "Jadi untuk memastikan apakah sebuah perusahaan atau seseorang terlibat atau masuk dalam Panama Papers atau tidak, harus dimulai dengan asas praduga tak bersalah," ujarnya. Pemerintah hendaknya meminta perusahaan atau nama yang terkait, untuk melaporkan transaksi yang dilakukan.

Selain itu juga membuat surat ke pemerintah Panama, meminta detail transaksi dan data keuangan. Apabila ada pajak terutang yang belum dibayar harus dibayarkan, termasuk dendanya bila ada. "Kalau ada yang illegal, dalam hal ini pencucian uang, misalnya, sudah tentu perlu diajukan ke pengadilan," lanjut Berly.

Dia menambahkan untuk mengetahui sebuah perusahaan atau nama seseorang termasuk dalam Panama Papers atau tidak,  ada tiga kemungkinan. Pertama,  legal dan beres pajak, ini tidak masalah. Kedua, legal dan belum beres pajaknya, harus diminta agar melunasi dan sanksi jika ada. Ketiga, perusahaan ilegal, harus dikenai sanksi dan tuntutan ke pengadilan.

Ditanya bagaimana kaitannya dengan gini ratio, Berly mengatakan bila perusahaan melakukan pengecilan kekayaan pada saat survei atau pelaporan pajak, maka gini ratio yang sebenarnya mustinya sedikit akan naik. 

Panama Papers barangkali hanyalah salah satu cara penghindaran masyarakat atau perusahaan dari kewajiban membayar pajak. Upaya-upaya penghindaran dari kewajiban membayar pajak sangat mungkin dilakukan dengan jalan lain. Oleh karena itu, pria kelahiran Jakarta, 6 Juli 1976 yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) ini menyarankan, apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia adalah mewajibkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) bagi lulusan Diploma atau Sarjana, dan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak membayar pajak. (Kendi Setiawan/Zunus)