Jakarta, NU Online
Ketika bangsa lain sudah bergerak menemukan hal-hal baru yang seakan mustahil dengan kecanggihan teknologinya, Indonesia masih saja ramai dengan isu politik. Sementara itu, pendidikannya belum mengarah kepada hal yang lebih bersifat kontemplatif. Akibatnya, tidak ada lompatan transformasi jauh sampai pada apa yang telah dicapai negara lain.
“Kenapa? Karena pemerintah kita terlambat dalam segala-galanya,” ujar Elwin Andririanto, praktisi teknologi, pada Ngaji Teknologi di ruang Perpustakaan PBNU, Jakarta, Rabu (28/3).
Oleh karena itu, untuk mengatasi jauhnya ketertinggalan itu, Elwin menegaskan tidak bisa hanya menunggu pemerintah untuk mengubah kurikulum. “Mengingat teknologi terus berkembang pesat,” urainya.
“Kesadaran nasional kita itu belum sampai pada titik keberlanjutan bangsa ini adalah mempersiapkan anak-anaknya. Itu belum sampai ke sana,” kata Elwin, Padahal ini yang sudah dilakukan negara-negara lain, lanjutnya.
Setiap hari masyarakat menggunakan ponsel. Tetapi, sangat sedikit, untuk menghindari kata tidak ada, yang memikirkan proses pembuatannya. “Pendidikan kita tidak pernah dibuat menjadi pendidikan yang bertanya,” jelasnya.
Penilaian terhadap orang di luar negeri dilihat dari pertanyaannya. Sementara di Indonesia, peserta didik dicekoki pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab.
Bangsa Indonesia saat ini, kata Elwin, seolah-olah nyaman dengan ketertinggalannya. Hal ini ditengarai karena ketidaktahuan terhadap perkembangan yang telah terjadi di belahan dunia lain.
Oleh karena itu, kesadaran terhadap hal tersebut harus ditumbuhkan sejak dini kepada generasi muda. “Bagaimana masyarakat itu dibombardir dengan situasi-situasi kemajuan bangsa lain,” kata teknopreneur itu memberikan solusi agar masyarakat terinspirasi melakukan hal serupa.
Sebenarnya, menurut Elwin, sederhana saja untuk memberikan penyadaran terhadap generasi saat ini agar melek teknologi. Menegaskan pernyataan sebelumnya, pewartaan perkembangan teknologi harus ditekankan kepada anak-anak bangsa masa kini.
“Memberitakan perkembangan-perkembangan ini (kemajuan teknologi) kepada anak-anak kita lebih sering dari mendengar hal-hal yang kurang penting hari ini,” tegasnya.
Mengingat istilahnya ngaji, maka dalam diskusi tersebut juga disampaikan bagaimana Islam memandang kemajuan teknologi. Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Mahbub Ma’afi menyampaikan bahwa Islam tidak antiteknologi. Tetapi, perkembangan teknologi yang sedemikian cepatnya, menurutnya, memberikan implikasi terhadap penetapan hukum-hukum fikih.
Ia memberikan beberapa pertanyaan yang tidak ia jawab, seperti bagaimana hukum nikah daring. “Pembelian barang-barang melalui toko daring, hingga hal-hal mustahil yang tidak dapat diterima sepenuhnya,” katanya.
Kegiatan yang dimoderatori Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Daniel Zuchron itu juga menghadirkan sejarawan Yul Amrozy.
Mas Oji, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa bangsa Indonesia punya cara tersendiri dalam menghadapi kemajuan teknologi. Mereka begitu unik, seperti melesatnya seorang artis lokal menjadi nasional.
Sementara itu, Hari Usmayadi selaku Ketua Pimpinan Pusat Lembaga Ta’lif Wal Nasyr Nahdlatul Ulama (PP LTNNU) menekankan agar Indonesia mengejar ketertinggalannya. Meskipun begitu, ia juga mengingatkan agar tidak terjebak dengan kemajuan teknologi itu sendiri. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)