Nasional RUU PESANTREN

RUU Pesantren Jangan Terjebak pada Formalisasi dan Anggaran

Jum, 28 September 2018 | 14:45 WIB

RUU Pesantren Jangan Terjebak pada Formalisasi dan Anggaran

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR (via merdeka.com)

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan jangan hanya terjebak pada formalisasi dan anggaran. Ia juga harus tetap mempertahankan kekhasan, karakteristik, dan tradisi keilmuan yang saat ini konsisten dikembangan oleh pesantren.

Penjelasan tersebut mengemuka ketika salah seorang Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Abdul Waidl mengisi diskusi terbatas di Kantor Redaksi NU Online, Jumat (28/9) sore mengenai perkembangan dan substansi RUU Pesantren.

“Rekognisi dalam Undang-Undang tersebut meliputi pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Di tengah upaya rekognisi tersebut, RUU Pesantren jangan terjebak hanya pada formalisasi dan persoalan anggaran,” ujar Abdul Waidl.

Menurutnya, substansi dari pasal-pasal yang ada dalam RUU Pesantren lebih banyak persoalan teknis. Belum menyentuh pada persoalan-persoalan substantif dan hal-hal mendalam lainnya seperti terkait keilmuan dan perspektif kekhasan pesantren.

Abdul Waidl mengungkapkan sejumlah pasal dalam RUU Pesantren yang menguatkan argumentasinya tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pasal 13 (5): Lulusan pada jenjang pendidikan pesantren (sebagai penyelenggaran pendidikan) diakui dengan pendidikan formal lainnya.

Pasal 13 (6): Lulusan pesantren yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada jenis pendidikan lainnya.

Pasal 47 (1): Lulusan pada jenjang pendidikan diniyyah takmiliyah dapat memperoleh pengakuan jenjang pendidikan formal yang sederajat setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 161 (1): Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban mengalokasikan pendanaan dalam penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan.

Prinsipnya dia mendukung terkait pengesahan RUU Pesantren untuk disahkan menjadi UU sehingga pesantren yang selama ini berjasa besar mengisi kekhasan pendidikan di Indonesia dan turut memperkuat jati diri dan moral bangsa mendapat pengakuan secara formal oleh negara.

Sementara itu, di kalangan Anggota DPR, RUU Pesantren ini didorong agar akhir 2018 selesai. Meskipun di atur dalam UU, pesantren diharapkan tidak kehilangan ruhnya sehingga tetap pada karakter kemandirian dan kekhasannya.

Dalam RUU Pesantren ini, selain menjelaskan tentang pengembangan peran pesantren dalam tiga hal, lembaga pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat, pesantren terkait pendiriannya juga bersifat fleksibel. Tidak dibatasi pengakuannya hanya berdasarkan legal formal semata. Karena terdapat 28.000 lebih pesantren yang sebagian besar masih berbentuk salafiyah.

Konsekuensi RUU ini ialah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berkewajiban mengalokasikan pendanaan dalam penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan seperti diatur dalam RUU tersebut.

Kekhawatiran sejumlah pihak terkait problem pengalokasian anggaran, harus ada edukasi dan advokasi institusi keagamaan sehingga mampu menjalankan akuntabilitas dan terhindar dari potensi praktik penyimpangan adiministrasi. (Fathoni)