Nasional

RUU HIP Bisa Sulut Konflik Ideologi yang Bikin Gaduh

Kam, 11 Juni 2020 | 10:00 WIB

RUU HIP Bisa Sulut Konflik Ideologi yang Bikin Gaduh

RUU HIP dipastikan akan menyulut perdebatan ideologis yang menguras energi anak bangsa

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) membuka kembali peluang memanasnya konflik ideologi berbagai kelompok. Hal ini pernah terjadi pada awal Indonesia merdeka. Jika hal itu terulang, memungkinkan tersitanya energi bangsa kepada hal-hal yang tidak urgen.


“RUU ini bisa dipastikan akan menyulut perdebatan ideologis yang menguras energi. Bisa seperti dalam Sidang Konstituante tahun 1959 yang berakhir dengan Dekrit Presiden,” ungkap Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad di Jakarta, Rabu (11/6), mengungkap pada masa Presiden Soekarno. 

 

Baca: ISNU Nilai RUU HIP Picu Tafsir Tunggal Pancasila ala Orde Baru

Baca: GP Ansor Minta DPR Tak Buru-buru Bahas RUU Haluan Ideologi Pancasila


Kalangan liberal, menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, melihat RUU seperti UU yang menghalalkan fasisme Negara, sementara bagi kelompok islamis, RUU ini dilihat sebagai upaya "menyingkirkan agama". Bahkan sebagian sudah ada yang mulai teriak: RUU ini memberi ruang untuk komunisme. 


“Bagi NU yang sudah terbukti konsisten mengawal ideologi Pancasila, tidak ingin bangsa ini kembali gaduh pada masalah yang sebenarnya tidak perlu. RUU HIP ini seperti tahsilul hasil, membicarakan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi,” jelasnya. 


Rumadi mengaku tidak terlalu mempersoalkan tentang pencantuman TAP MPRS XXV/1966, meski memahami orang yang curiga dengan tidak adanya TAP ini. TAP XXV ini sifatnya beschikking yang sudah selesai dilaksanakan dengan pembubaran PKI.  


“Tapi saya bisa memahami jika ada sebagian yang menaruh curiga dengan tidak adanya TAP ini sebagai pertimbangan. Saya justru melihat RUU ini seolah ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup dan membuka peluang monopoli tafsir Pancasila seperti yang dilakukan Orde Baru, tapi dalam bentuk yang lain,” pungkasnya. 

 

Baca: Lakpesdam PBNU Sebut RUU Haluan Ideologi Pancasila Tidak Urgen


Lagi pula, kata Rumadi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensinya. Sejumlah masalah yang dijadikan argumentasi RUU HIP ini kurang valid, karena itu tentunya bukan RUU HIP yang menjadi jawabannya. 


“Misalnya, dalam naskah akademik RUU HIP disebutkan adanya masalah pengambilan kebijakan penyelenggara negara masih berjalan sendiri-sendiri antar lembaga tanpa adanya pedoman dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pengambilan keputusan,” ungkapnya. 


Senada dengan Rumadi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi  menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memicu penafsiran tunggal Pancasila seperti terjadi pada masa Orde Baru. Karena itu, menurutnya, RUU itu tidak cocok untuk semangat dan dinamika kehidupan berbangsa saat ini. 


“Menurut saya gak perlu RUU HIP,” katanya kepada NU Online di Jakarta, Kamis (11/6). 


Karena, menurut dia, Pancasila sebagai ideologi prinsip tidak perlu penafsiran baku seperti Orba. Pancasila juga tidak perlu pelembagaan. 


Konsep baku ini, katanya, memicu tafsir tunggal dari pemerintah sehingga menutup penafsiran dari elemen lain yang sangat dibutuhkan dalam proses pematangan sebuah bangsa.


Lebih lanjut, konsekuensinya, pemerintah bisa mengecap, menentukan pihak mana yang Pancasilais dan yang tidak. 

 
“Yang dibutuhkan adalah penerjemahan Pancasila ke dalam ideologi kerja,” tegasnya. “Kita lebih butuh UU Sistem Perekonomian Nasional yang merupakan penjelmaan Pancasila sebagai ideologi kerja daripada kelembagaan ideologisasi Pancasila,” tambahnya.


UU ekonomi yang memiliki semangat dari Pancasila, yaitu sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad