Jakarta, NU Online
Remaja teladan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) wilayah Manado Malalayang mengunjungi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, pada Jumat (29/6). Hal ini dilakukan dalam rangka tindak lanjut pemilihan remaja teladan.
“Agar remaja teladan diisi dengan berbagai kegiatan sehingga menambah pengetahuan pengalaman,” ujar Pnt. Riedal Sanny Mongisidi, ketua rombongan mereka didampingi Sekretaris Komisi Pelayanan Remaja Wilayah Manado Malalayang Dicky Syaranamual.
NU dipilih mengingat peran strategis NU dalam menjaga NKRI dan memiliki nilai toleransi sehingga menarik mereka untuk berdiskusi mengenai hal tersebut. “Berdiskusi mengenai peran kita semua dalam toleransi umat beragama untuk menjaga NKRI,” katanya.
Di samping itu, kunjungannya kali ini juga guna mengenalkan NU kepada para remaja GMIM yang belum mengetahuinya.
Riedal berharap NU dapat menjadi sandaran bagi kelompoknya. “Menjadi bantal yang empuk bagi umat Kristen Indonesia,” pungkasnya.
Manfaat NU bagi Bangsa
Sementara itu, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ikhsan Saruna menjelaskan bahwa NU itu tidak hanya memperjuangkan agama, melalinkan seluruh aspek kehidupan, meliputi ekonomi, kebangsaan, hingga pemikiran. Sebab, menurutnya, kelahiran NU itu diawali dengan hadirnya Nahdlatul Wathan, Nahdlatuttujjar, dan Tashwirul Afkar. Ketiga kelompok itu mewakili nasionalis, pebisnis, dan cendekiawan.
Di samping itu, perjuangan NU juga tidak hanya bagi kelompoknya saja. Tetapi dapat dirasakan oleh semua kalangan. Ia mencontohkan bagaimana diplomasi Katib Am KH Yahya Cholil Staquf ke Israel yang membuka kembali akses bangsa Indonesia untuk dapat berkunjung ke sana. Meskipun kedua negara tersebut tidak memiliki hubungan diplomatik. “Manfaatnya tidak hanya bagi muslim, tapi juga menyeluruh,” katanya dalam diskusi di Perpustakaan Nahdlatul Ulama, gedung PBNU lantai 2.
Di samping itu, Khairunnufus, wakil bendahara PP IPNU, mengungkapkan bahwa pendiri NU Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bukan saja sebagai seorang ulama, melainkan juga seorang nasionalis. Hal ini, katanya mengutip pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, berbeda dengan kebanyakan ulama di Timur Tengah yang tidak nasionalis.
Nufus pun menceritakan bahwa Mbah Hasyimlah yang menggerakkan masyarakat untuk berjuang untuk mempertahankan NKRI. Khususnya dalam perang 10 November 1945 di Surabaya dengan resolusi jihadnya.
Pnt. Bonie Politon, salah satu rombongan, melihat Islam tidak semuanya radikal setelah berdiskusi dengan anggota IPNU. “Ada juga yang bisa menerima kami,” katanya.
NU juga, harapnya, bisa bersama-sama terus dengan kelompoknya. Pasalnya, di benaknya, NU bukan lagi sekadar sahabat, tapi bersaudara.
Mereka juga mengunjungi kantor redaksi NU Online di lantai 5 gedung PBNU setelah kunjungannya di kantor PP IPNU di lantai yang sama. (Syakir NF/Abdullah Alawi)