Nasional

Rais ‘Aam PBNU Dengar Suara Alim Ulama NTB

NU Online  ·  Sabtu, 25 Februari 2017 | 02:25 WIB

Rais ‘Aam PBNU Dengar Suara Alim Ulama NTB

Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin (berkacamata)

Lombok Tengah, NU Online
Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin menghadiri Sarasehan Alim Ulama se-Nusa Tenggara Barat di Pondok Pesantren NU Al-Mansuriyah Ta’limushibyan Bonder, Lombok Tengah, pada Jumat sore (24/2).

Ia hadir bersama Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F. Mas’udi dan Katib Syuriyah PBNU KH Mujib Qulyubi. Pada kesempatan tersebut, setelah berceramah tentang tugas-tugas dan peran ulama, Rais ‘Aam mendengarkan pendapat dan pertanyaan dari para ulama.

Di antara pertanyaan yang diajukan para ulama tersebut adalah bagaimana menghadapi orang menistakan Al-Qur’an, agama, dan ulama; bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi umat; pedoman berorganisasi, toleransi mayoritas dan minoritas, kekhasan NU, dan Islam Nusantara.

“Bagaimana menghadapi penistaan, saya kira, kita sudah jelas. Kebetulan saya sebagai Ketua Majelis Ulama, misalnya kasus Ahok, sudah jelas ia menghina ulama. Kalau di dalam masalah unjuk rasa, NU memang tidak menyuruh, tidak melarang, tidak boleh menggunakan atribut NU. Alasannya apa? Pemerintah saja tidak melarang, masa kita melarang. Urusannya bukan agama, tapi konstitusi, moderat saja,” jelasnya.

Soal istinbatul ahkam masail jadidah atau keputusan hukum masalah-masalah yang baru, menurut dia, kalau sudah diputuskan di muktamar atau munas, warga NU harus mengikutinya. Kalau belum diputuskan, boleh berbeda.  

Ia juga menjawab tentang pertanyaan kenapa muncul istilah Islam Nusantara dari rahim Nahdlatul Ulama. “Sepakat tidak sepakat itu sudah menjadi keputusan muktamar. Islam Nusantara itu ya Ahlussunah wal-Jama'ah itu. Huwa, huwa, Islam Nusantara itu kemasan saja. Isinya ya Ahlussunah wal-Jama'ah. Tidak ada Islam yang lain. Ini bukan konsumsi umat kita, tapi global, dunia, dari gambar NU itu,” terangnya.

Terkait mendengar pendapat para alim ulama di daerah tersebut, menurut Rais ‘Aam, PBNU selepas Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 2015, memprogramkan silaturahim dengan para Syuriyah NU dan kiai-kiai yang bukan pungurus.

“Sebab ada kesan kiai yang bukan pengurus itu tidak punya tanggung jawab kepada NU. Padahal pengurus itu hanya sopir, menjalankan, yang punya NU itu ulama. Oleh karena itu, para ulama punya tanggung jawab terhadap NU. Kalau pengurus terlalu kencang, diperingatkan. Kalau kendor, didorong.” (Abdullah Alawi)