Nasional

Radikalisme di Indonesia bagian Rekayasa Internasional

NU Online  ·  Sabtu, 21 April 2018 | 07:15 WIB

Jember, NU Online
Gerakan radikal yang marak di Indonesia tidak  berdiri sendiri, namun jelas ada campur tangan asing yang bermotif kepentingan ekonomi. 

Hal tersebut diungkapkan Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ali Masykur Moesa saat menjadi  nara sumber dalam Seminar dan Konferensi ISNU Cabang Jember Jawa Timur di Hotel Bintang Mulia, Kamis (19/4). 

Menurutnya, gerakan radikal memang dihadirkan di Indonesia untuk menghajar kekuatan Nahdlatul Ulama. Sebab, jika NU kuat dan menyatu dalam sistem bernegara, maka infiltrasi ekonomi di Indonesia akan kewalahan.

“Kalau nafas agama dan negara menyatu dan itu simbolnya adalah NU, maka kekuatan asing kesulitan untuk masuk Indonesia,” tukasnya.

Tesis tersebut bukan tanpa fakta, sejumlah negara Timur Tengah seperti Libya, Suriah, Afganistan, Tunisia, Maroko, dan sebagainya, semula adalah negara yang berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah (sunni). Dan tentu saja hal tersebut menjadi penghalang kekuatan asing untuk memperebutkan minyak dan sumber ekonomi lain di negara-negara tersebut. 

Sehingga akhirnya muncul skenario Barat  untuk membenturkan kelompok sunni  dengan kelompok lain, misalnya Syiah. Atau mempertentangkannya dengan pemerintah setempat, sehingga akhirnya menjadi pintu masuk bagi kekuatan asing untuk menyerap sumber ekonomi  negara-negara tersebut.

“Jadi radikalisme di Indonesia adalah setingan dari sebuah gerakan internasional,” tegasnya.

Oleh karena itu, Ali mengapresiasi apa yang dilakukan oleh KH Hasyim Muzadi dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) nya dan KH Said Aqil dengan International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) nya. Sehingga hubungan antar  negara sunni semakin  kuat, dan itu menjadi gerakan  untuk menghadang  inflitrasi asing (Aryudi Abdul  Razaq/Muiz).