Nasional

Quraish Shihab Sebut Akhlak dan Rahmat sebagai Titik Temu Perbedaan Penafsiran

Rab, 17 Juli 2019 | 10:00 WIB

Jakarta, NU Online
Perbedaan penafsiran terhadap berbagai ajaran agama sudah merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut mengingat pemikiran dan latar belakang pengetahuan mereka berbeda-beda. Tak jarang pula pandangan tersebut saling bertentangan dengan masing-masing memiliki landasan argumennya.

“Penafsiran Islam itu bisa berbeda-beda. Kita harus sadari kecenderungan orang bisa berbeda-beda,” kata Pakar tafsir al-Qur’an Indonesia Quraish Shihab saat Halal bi Halal dan Milad ke-47 Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (17/7).

Perbedaan pandangan tidak saja terjadi pada orang yang memiliki latar belakang berbeda. Antara guru dan murid pun tak jarang berseberangan pandangannya terhadap suatu persoalan. “Guru saya berbeda dengan gurunya. Saya bisa berbeda dengan guru saya,” jelasnya. 

Bahkan, mengutip KH Ma’ruf Amin, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga menceritakan bahwa Syekh Nawawi al-Bantani pun pernah berbeda pandangan dengan Imam Syafi’i yang notabene merupakan pendiri mazhab Syafi’i yang diikutinya.

“Tadi, Pak Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa Nawawi Banten berbeda dengan Imam Syafii,” katanya.

Di situlah, menurutnya, merupakan letak toleransi. Dari situlah, ia mencari titik temu yang paling tepat untuk menengahi perbedaan pandangan tersebut. Ulama yang menghabiskan masa studi kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu menyebut titik temu tersebut adalah akhlak dan rahmat. “Usul saya kita bertemu pada rahmat dan akhlak. Selama sudah keluar dari akhlak dan rahmat kita berkata anda tidak bersama saya,” katanya.

Wasathiyah, menurutnya, bukan hanya milik satu kelompok. Sebab, lanjutnya, wasathiyah itu Islam itu sendiri. Meskipun demikian, wasathiyah itu bukan barang jadi dalam penerapannya mengingat perlu ijtihad.  “Tanpa ijtihad tidak bisa terjadi wasathiyah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu menjelaskan bahwa wasathiyah itu bahan yang dianugerahkan Allah kepada kita yang harus dirajut disesuaikan dengan bangsa masing-masing.

“Bahan ini harus dijahit sesuai dengan ukuran setiap bangsa. Cara kita bisa berbeda dengan cara orang di Amerika. Cara orang di Amerika bisa beda dengan orang di negeri Arab,” jelasnya.

Bisa jadi, lanjutnya, semuanya wasathiyah dengan ukuran pakaiannya yang berbeda. Tetapi bahannya sama, yakni rahmatan lil alamin.  (Syakir NF/Abdullah Alawi)